Dokter yang merawat korban luka perang dan delegasi ICRC yang bekerja di kawasan yang terkena dampak konflik bersenjata mengandalkan simbol perlindungan yang unik dan diakui secara universal: lambang pembeda palang merah atau bulan sabit merah. Selama lebih dari 150 tahun, lambanglambang ini telah menyampaikan pesan sederhana: fasilitas – fasilitas, kendaraan – kendaraan, atau orang – orang yang menampilkan lambang tersebut tidak boleh diserang.

Saat ini, fasilitas – fasilitas medis dan berbagai operasi kemanusiaan menggunakan teknologi digital untuk merespon kebutuhan masyarakat secara lebih efisien dan efektif. Namun demikian, digitalisasi semacam ini menghadapkan keduanya pada ancaman baru. Ketika konflik bersenjata menjadi digital, dapatkah teknologi digital dimanfaatkan untuk memperkuat perlindungan fasilitas – fasilitas medis? Dapatkah kita memasukkan gagasan yang sudah berusia seabad bahwa ‘rumah sakit, ambulans, dan pihak – pihak yang melakukan evakuasi … harus menampilkan sebuag palang merah di atas dasar putih’ ke dalam lingkungan digital? Apakah secara teknis dimungkinkan, dan apa manfaat dan risiko dari melakukan hal ini?

 Sejak tahun 2020, ICRC telah bermitra dengan Center for Cyber ??Trust, Laboratorium Fisika Terapan Universitas Johns Hopkins, dan, baru – baru ini, ITMO University St Petersburg dan mengumpulkan sekelompok pakar global untuk melakukan asesmen kemungkinan solusi, manfaat, dan risiko yang terkait dengan ‘lambang digital’. Laporan barunya yang diluncurkan hari ini tentang ‘Digitalisasi Lambang Palang Merah, Bulan Sabit Merah dan Kristal Merah‘ menyajikan solusi teknologi, pandangan ahli tentang manfaat dan risiko, dan kemungkinan jalan ke depannya. Dalam posting ini, Penasihat ICRC Tilman Rodenhäuser dan Mauro Vignati menjawab lima pertanyaan esensial tentang gagasan ‘lambang digital’.

Apa itu ‘lambang digital’, dan apa yang dapat dicapainya?

Ketika masyarakat menjadi digital, operasi siber telah menjadi realitas konflik bersenjata. Negara – negara telah mengidentifikasi peningkatan kemungkinan ‘penggunaan Teknologi Informasi dan Komunikasi (TIK) dalam konflik masa depan antar Negara – negara’ sebagai ancaman terhadap keamanan internasional. ICRC telah memperingatkan potensi human cost atau kerugian manusia (Penterjemah: kerusakan atau kehilangan yang ditimbulkan kepada orang – orang dan masyarakat, termasuk kerugian material, biaya sosial, kerusakan psikis, dll) dari operasi siber dan mengangkat kekhawatiran tentang kerentanan sektor medis dan organisasi – organisasi kemanusiaan terhadap operasi siber, termasuk oleh pelaku kejahatan siber. Tidak bisa dipungkiri, sejak awal pandemi COVID – 19, operasi siber terhadap rumah sakit telah mengganggu perawatan para pasien yang bertujuan menyelamatkan nyawa mereka, dan memaksa dokter dan perawat untuk menggunakan bulpen dan kertas pada saat pekerjaan mendesak mereka paling dibutuhkan. Dan pada tahun 2022 saja, anggota Gerakan Palang Merah dan Bulan Sabit Merah telah menjadi sasaran beberapa operasi siber berbeda, seperti halnya organisasi kemanusiaan lainnya. Pada saat konflik bersenjata, operasi semacam itu menempatkan orang – orang yang sudah rentan – yang terluka, yang sakit, orang – orang dalam situasi rentan – pada risiko yang lebih besar lagi.

Ide ‘lambang digital’ adalah untuk mengembangkan tanda digital untuk mengidentifikasi – dan memberi sinyal perlindungan – terutama fasilitas – fasilitas medis dan untuk memasukkannya ke dalam kerangka hukum internasional. Sebuah ‘lambang digital’ akan menambah lapisan perlindungan terhadap operasi siber, seperti halnya lambang palang merah, bulan sabit merah, atau kristal merah di dunia fisik. Lambang semacam itu akan memberikan sinyal yang jelas bahwa entitas yang ditandai tersebut mendapatkan perlindungan khusus berdasarkan hukum humaniter internasional dan harus dilindungi dari bahaya.

Penting untuk dipahami bahwa ‘lambang digital’ bukanlah langkah keamanan siber yang benar – benar melindungi sistem dari gangguan atau kerusakan – ini adalah tanda perlindungan hukum. Ini berarti bahwa setiap fasilitas medis yang menggunakan lambang tersebut juga harus mengambil langkah – langkah keamanan siber selain menggunakan lambang digital – seperti halnya rumah sakit di zona perang yang biasanya menggunakan serangkaian tindakan fisik untuk melindungi diri dari bahaya yang tidak disengaja.

Seperti apa ‘lambang digital’ itu, dan apa karakteristik yang harus dimilikinya?

Secara sederhana, mitra riset kami telah mengembangkan tiga kemungkinan solusi teknis untuk sebuah ‘lambang digital’:

Opsi pertama adalah apa yang kami sebut lambang ‘Berbasis Domain Name System (DNS). Solusi ini akan menggunakan label khusus untuk mengasosiasikan ‘lambang digital’ dengan nama domain (misalnya, www.hospital.lambang). Ini akan menjadi ‘lambang digital’ yang gamblang dan mudah dibaca manusia yang mengidentifikasi sistem yang dilindungi.

Opsi kedua adalah lambang ‘berbasis Internet Protocol (IP)’. Jenis lambang ini memerlukan penyematan semantik di alamat IP untuk mengidentifikasi aset digital yang dilindungi dan pesan – pesan yang dilindungi yang melintasi sebuah jaringan.

Opsi ketiga menggunakan nama ADEM (‘Authenticated Digital Emblem’) atau Lambang Digital Terautentikasi dan pada dasarnya menggunakan rantai sertifikat untuk memberi sinyal perlindungan. Berdasarkan pendekatan itu, sertifikat – sertifikat ini (seperti kunci kecil yang sering ditemukan di sebelah alamat di jendela browser Anda) dapat diautentikasi oleh otoritas yang berbeda dan dapat dikomunikasikan melalui protokol internet (IP) berbeda.

Kami sedang menyempurnakan dan menguji opsi – opsi berbeda ini dengan mitra kami. Dalam penelitian ini, kami dipandu oleh sejumlah karakteristik yang ditekankan sebagai suatu hal yang penting oleh para ahli medis, kemanusiaan, dan militer.

Untuk penggunaannya oleh fasilitas medis, sebuah ‘lambang digital’ harus mudah digunakan dan dijaga untuk tetap berbiaya rendah di seluruh dunia, menjembatani perbedaan bahasa, teknologi, sumber daya, dan budaya. Lambang tersebut perlu diintegrasikan ke dalam lingkungan teknologi yang ada (termasuk cloud) dan dapat disesuaikan dengan perkembangan teknologi dan infrastruktur di masa mendatang. Sebuah ‘lambang digital’ juga harus mudah dihapus, karena hal tersebut sangat penting untuk mengatasi kemungkinan risiko keamanan. Selain itu, ‘lambang digital’ perlu dipasang atas dasar arahan otoritas berwenang dari pihak – pihak yang terlibat dalam konflik bersenjata.

Untuk memberi sinyal perlindungan secara efektif, ‘lambang digital’ harus ‘terlihat’ oleh dan mudah diidentifikasi dan dipahami oleh mereka yang melakukan operasi siber (‘operator siber’). Operator lebih lanjut menekankan bahwa mereka harus dapat menyelidiki ‘lambang digital’ tanpa dapat diidentifikasi sebagai aktor ancaman potensial. Idealnya, ‘lambang digital’ harus menjadi bagian dari informasi yang diminta penyusup dari suatu sistem. Juga harus dimungkinkan untuk memverifikasi keaslian ‘lambang digital’ dengan mudah.

Apa manfaat dan risiko utama yang terkait dengan ‘lambang digital’?

Manfaat utama yang diharapkan dari lambang digital adalah memudahkan operator siber untuk mengidentifikasi dan menyelamatkan entitas yang dilindungi dengan memvisualisasikan dan mengoperasionalkan perlindungan hukum dalam lingkungan digital. Dalam ‘kabut perang’, sinyal tambahan ini dapat memiliki nilai tambah yang nyata. Ini terutama akan meningkatkan perlindungan bagi entitas yang ditandai terhadap risiko bahaya yang disebabkan oleh operator yang taat hukum dan mungkin juga memiliki efek jera pada yang operator yang memiliki niat jahat.

Pada saat yang sama, menandai dan mengidentifikasi entitas medis dan kemanusiaan secara digital berisiko meningkatkan eksposur mereka terhadap operasi berbahaya. Tingkat keparahan risiko ini akan bervariasi. Bagi banyak operator, sudah mudah untuk mengidentifikasi organisasi medis atau kemanusiaan di dunia maya; risiko tambahan memfasilitasi identifikasi mereka sebagai entitas yang ditandai mungkin relatif kecil. Namun demikian, penggunaan ‘lambang digital’ mungkin berisiko lebih besar menjadi sasaran operasi oleh aktor – aktor yang kurang canggih; akan tetapi, para pelaku semacam ini juga akan memiliki kemampuan yang lebih kecil untuk menimbulkan kerugian.

Risiko yang berbeda adalah potensi penyalahgunaan ‘lambang digital’ untuk menandai secara keliru infrastruktur militer atau infrastruktur yang tidak terlindungi. Risiko ini juga ada di ranah fisik, dan penyalahgunaan lambang secara luas dilarang berdasarkan hukum internasional dan hukum nasional.

Siapa yang boleh menggunakan ‘lambang digital’, dan kapan?

Penggunaan lambang dan sinyal pembeda diatur dalam hukum humaniter internasional (lihat, antara lain, pasal 44 Konvensi Jenewa Pertama; pasal 18 dan 38 Protokol Tambahan I; Lampiran 1 Protokol Tambahan I) dan undang – undang dan peraturan nasional terkait. Berdasarkan ketentuan – ketentuan ini, lambing – lambang pembeda dapat digunakan untuk dua tujuan:

Pertama, memberi sinyal perlindungan hukum. Untuk tujuan ‘perlindungan’ ini, lambang – lambang pembeda hanya boleh digunakan pada saat konflik bersenjata, bukan pada masa damai (kecuali sebagai langkah persiapan untuk memastikan perlindungan setelah konflik pecah). Penggunaannya lebih lanjut terbatas, terutama, untuk aktor – aktor medis yang mendapat otorisasi (layanan medis angkatan bersenjata; fasilitas medis sipil yang mendapat otorisasi) serta ICRC dan Federasi Internasional Perhimpunan Palang Merah dan Bulan Sabit Merah.

Kedua, pada masa damai dan pada masa atau konflik bersenjata, anggota Gerakan Palang Merah dan Bulan Sabit Merah Internasional (Gerakan RCRC) dapat menggunakan lambang tersebut untuk tujuan pengenal, artinya untuk mengidentifikasi diri mereka sebagai anggota Gerakan RCRC.

Sementara hukum humaniter internasional membatasi penggunaan lambang pembeda untuk entitas medis dan operasi kemanusiaan yang terkait dengan Gerakan RCRC, lambang atau sinyal lain ada, misalnya, untuk mengidentifikasi Perserikatan Bangsa – Bangsa atau benda budaya.

Alternatif jalan menuju ‘lambang digital’

Berdasarkan penelitian dan konsultasi yang telah dilakukan, secara umum umpan balik positif yang diterima dari kelompok pakar internasional, dan dorongan dengan suara bulat dari Gerakan RCRC ‘untuk terus melakukan riset kelayakan teknis dari lambang digital … dan melakukan asesmen tentang manfaat lambang semacam itu’, ICRC akan melanjutkan penelitian dan konsultasi tentang kemungkinan ‘lambang digital’. Dari sisi teknis, ini akan membutuhkan kerja lebih lanjut pada pengembangan teknis serta validasi dan verifikasi solusi yang dimungkinkan, yang akan dilakukan ICRC dengan mitra penelitiannya. Di sisi diplomatik, saat ini negara – negaralah yang akan mempertimbangkan gagasan tersebut dan memutuskan kemungkinan langkah selanjutnya. ICRC bermaksud mengadakan konsultasi untuk tujuan ini dengan semua pemangku kepentingan yang relevan – khususnya Negara dan Gerakan RCRC.

Kekuatan utama dari lambang dan tanda pembeda adalah bahwa bentuk, fungsi, penggunaan, dan perlindungannya diatur dalam hukum humaniter internasional, dan penyalahgunaannya adalah dilarang. Jika ‘lambang digital’ dianggap diinginkan oleh Negara – negara, ada jalan yang berbeda untuk memasukkan lambang tersebut ke dalam kerangka hukum internasional. Ini termasuk, tetapi tidak terbatas pada:

  • Pengadopsian protokol tambahan baru pada Konvensi – konvensi Jenewa. Pendekatan ini diambil pada tahun 2005 untuk menetapkan ‘kristal merah
  • Revisi Lampiran I pada Protokol Tambahan I, yang mengatur penggunaan ‘sinyal pembeda’ (sinyal cahaya dan radio, identifikasi elektronik) atau komunikasi (komunikasi radio, kode). Prosedur untuk memperbarui lampiran ini secara berkala dapat dilihat pada Protokol Tambahan I (lihat pasal 98).

Ketika ancaman – ancaman siber terhadap fasilitas medis dan organisasi kemanusiaan yang imparsial bertumbuh, inilah saatnya bagi masyarakat internasional untuk bersama – sama memastikan bahwa ancaman – ancaman baru diatasi dengan memperbarui dan berinovasi dengan langkah – langkah perlindungan praktis yang sudah berlangsung lama.

Lihat juga:

 

Penulis:

Tilman Rodenhäuser, Thematic Legal Adviser - ICRC

Tilman Rodenhäuser, Thematic Legal Adviser – ICRC

Mauro Vignati, Adviser on New Digital Technologies of Warfare – ICRC