Pernyataan Komite Internasional Palang Merah (ICRC) usai pertemuan Kelompok Ahli Pemerintah (GGE) Sistem Senjata Otonom Mematikan dari Konvensi Senjata Konvensional Tertentu (CCW), yang diselenggarakan pada 15-19 Mei 2023.

Pernyataan ¦ 5 Juni 2023

 

Setelah pembahasan selama hampir sepuluh tahun, Kelompok Ahli Pemerintah Konvensi Senjata Konvensional Tertentu (CCW) telah meletakkan sebuah struktur larangan dan pembatasan yang tidak mengikat terkait sistem senjata otonom.

Meskipun struktur ini dapat menjadi dasar bagi aturan-aturan internasional baru, regulasi yang lebih spesifik dan praktis akan diperlukan untuk bisa mengatasi permasalahan-permasalahan kemanusiaan, hukum, etika, dan keamanan yang dipicu senjata otonom secara efektif. Sebagian dari elemen tersebut dapat diambil dari usulan-usulan konkrit yang diajukan oleh negara-negara untuk larangan dan pembatasan, yang sebagiannya tertuang dalam rancangan laporan yang disampaikan oleh Ketua, Duta Besar Flavio S. Damico dari Brasil.

Rancangan laporan Ketua GGE menjelaskan ciri-ciri sistem senjata otonom sebagai senjata yang setelah diaktifkan akan memilih dan menggunakan kekuatan terhadap sasaran tanpa campur tangan manusia. Pemahaman fungsional ini didukung secara luas oleh negara-negara dalam GGE. Definisi ini selaras dengan cara ICRC membedakan senjata otonom dengan senjata non-otonom yang didasarkan pada proses penggunaan kekuatan yang membuat sulit untuk mengantisipasi dan mengendalikan dampaknya sehingga menantang kemampuan pengguna untuk mematuhi hukum humaniter internasional, dan menghadirkan permasalahan etika mendasar bagi masyarakat. Sayangnya, GGE tidak berhasil menyepakati pengertian yang jelas tentang senjata otonom, namun justru merujuk pada “sistem senjata berbasis teknologi baru di bidang sistem senjata otonom mematikan”. Dengan demikian, ruang lingkup penerapan kesimpulan-kesimpulan mereka tetap belum terselesaikan.

GGE mengakui bahwa kerja mereka harus dipandu oleh hukum internasional dan perspektif etika. Namun, unsur-unsur ini tidak cukup tercermin dalam larangan-larangan yang diusulkan, yang hanya mengatakan bahwa senjata otonom “tidak boleh digunakan jika tidak dapat dipergunakan sesuai dengan hukum humaniter internasional”. Rumusan sempit ini tidak membahas permasalahan signifikan etika dan publik yang ditimbulkan oleh senjata otonom, terutama yang menjadikan manusia sebagai sasaran. Bisa dibilang, rumusan tersebut tidak mencakup senjata yang sebagian mungkin melanggar hukum tapi tidak dalam segala keadaan dan, dengan hanya diterapkan pada ‘penggunaan’, kehilangan kesempatan untuk mencegah pengembangan sistem senjata yang dari segi desainnya akan melanggar hukum. Mungkin yang paling penting, rumusan itu tidak memberikan panduan tentang jenis senjata otonom yang tidak dapat digunakan sesuai dengan aturan yang ada. Alhasil, pernyataan tersebut tidak menambahkan apapun pada kerangka hukum yang ada.

ICRC sudah mendorong negara-negara untuk melarang senjata otonom yang dirancang atau digunakan untuk menjadikan manusia sebagai sasaran secara langsung dan senjata otonom yang tidak dapat diprediksi – senjata yang dirancang atau digunakan sedemikian rupa sehingga dampaknya tidak dapat dipahami, diprediksi, dan dijelaskan secara memadai. Senjata yang tidak dapat diprediksi ini akan mencakup senjata otonom yang ‘mempelajari’ sasaran selama penggunaan, dan mungkin senjata otonom yang pembelajarannya dikendalikan oleh mesin secara umum. Persyaratan agar sistem dapat diprediksi, andal, dapat dipahami, dapat dijelaskan, dan dapat dilacak telah dituangkan dalam rancangan laporan Ketua GGE dan didukung oleh sebagian besar delegasi, tetapi tidak disertakan dalam kesimpulan akhir GGE.

Sehubungan dengan pembatasan pada senjata otonom yang tidak dilarang, laporan tersebut menetapkan batasan penting yang menurut GGE harus diberlakukan oleh negara, termasuk jenis sasaran, durasi, cakupan geografis dan skala penggunaan, dan persyaratan untuk pelatihan yang sesuai. Dalam pandangan ICRC, pengguna harus mengambil tindakan-tindakan ini – yang secara umum sudah tercermin dalam praktik militer – untuk memastikan kepatuhan pada hukum humaniter internasional. Agar pembatasan-pembatasan tersebut bisa saat ini memiliki dampak nyata dalam membatasi pengembangan dan penggunaan senjata otonom, kategori-kategori umum ini harus dielaborasikan lebih lanjut. Misalnya, ICRC juga merekomendasikan untuk membatasi sasaran hanya pada objek yang pada dasarnya adalah sasaran militer (seperti senjata atau tank), mengoperasikan senjata otonom hanya dalam situasi di mana orang sipil atau objek sipil tidak ada, dan memasukkan ketentuan adanya interaksi manusia dengan mesin guna memastikan pengawasan manusia secara efektif serta intervensi dan deaktivasi tepat waktu.

Mengingat keterbatasan signifikan dari kesimpulan GGE tentang larangan dan pembatasan yang tidak mengikat, penting untuk dicatat bahwa hukum humaniter berlaku sepenuhnya untuk pengembangan dan penggunaan senjata otonom, seperti halnya untuk senjata apa pun dalam konteks konflik bersenjata. Aturan dasar yang mengatur perilaku permusuhan, dan melindungi mereka yang tidak atau tidak lagi berperang, telah menetapkan batasan dan memberlakukan kewajiban terkait penggunaan senjata otonom; dan negara-negara harus melakukan asesmen kepatuhan terhadap aturan-aturan ini pada semua tahap studi, pengembangan, akuisisi, dan pengadopsian senjata otonom.

Ketika permasalahan tentang aplikasi militer dari kecerdasan buatan memasuki kesadaran publik, dan pembahasan untuk meregulasi senjata otonom mendapatkan momentum politik, sangat penting bagi negara untuk melanjutkan pengembangan progresif atas hukum humaniter. Hukum humaniter bukan badan hukum yang statis, melainkan terus berkembang sebagai respons terhadap perubahan dalam praktik militer dan persenjataan, konsekuensi nyata atau yang dapat diperkirakan dalam konflik bersenjata, dan norma etika masyarakat. Maka, sangat menggembirakan bahwa semakin banyak negara mendukung perundingan aturan-aturan internasional baru dan mengikat secara hukum tentang senjata otonom guna mengartikulasikan visi mereka atas larangan dan pembatasan yang bermakna.

Momentum ini telah tercermin dalam berbagai inisiatif tahun ini, termasuk komunike oleh 32 negara Amerika Latin dan Karibia yang dikeluarkan di Kosta Rika pada bulan Februari, yang juga didukung pada Maret 2023 oleh KTT Kepala Negara dan Pemerintahan Ibero-Amerika, dan yang mempromosikan perundingan mendesak atas instrumen internasional yang mengikat secara hukum dengan larangan dan peraturan. Acara internasional – seperti KTT REAIM, yang diadakan oleh Belanda dan Republik Korea di Den Haag pada Februari, dan konferensi yang diselenggarakan oleh Luksemburg pada April – juga telah menunjukkan keinginan untuk melakukan aksi politik.

ICRC mendesak negara-negara untuk secara resmi melaksanakan perundingan untuk aturan internasional baru dan mengikat secara hukum tentang sistem senjata otonom. Setelah melakukan diskusi multilateral lebih dari sepuluh tahun, kini negara-negara harus memberikan tanggapan hukum yang jelas dan efektif. Masyarakat kian memperhatikan pemerintah mereka untuk menunjukkan kepemimpinan dalam isu ini, sementara kalangan ilmuwan, industri, dan militer membutuhkan kejelasan dan panduan.

Sejalan dengan keahlian dan mandat kemanusiaannya yang sudah diakui, ICRC siap mendukung negara-negara dalam segala upaya untuk mencapai tujuan ini. ICRC mendorong partisipasi inklusif dan multidisiplin dalam perundingan ini guna memastikan terciptanya regulasi efektif yang akan melindungi orang-orang yang terkena dampak konflik bersenjata, hari ini dan di masa mendatang.