Respon dari milenial Indonesia dalam survey ini:

  • Sebanyak 69% milenial yang disurvei di Indonesia berpendapat bahwa perlu ada pembatasan-pembatasan dalam perang dan konflik bersenjata, meskipun 64% dari responden di Indonesia tidak pernah mendengar tentang Konvensi Jenewa, serangkaian instrumen hukum internasional yang mengatur pembatasan-pembatasan dalam perang.
  • Meskipun 96% milenial yang disurvei di Indonesia tidak pernah mengalami perang atau konflik bersenjata secara langsung, 78% dari mereka berpendapat bahwa kombatan harus menghindari jatuhnya korban warga sipil meskipun mempersulit tercapainya tujuan militer.
  • Sebanyak 53% responden milenial di Indonesia meyakini tidak akan ada Perang Dunia III selama masa hidup mereka, sementara 47% dari responden global meyakini akan ada Perang Dunia III selama masa hidup mereka.
  • Sebanyak 77% responden Indonesia menyatakan bahwa mereka secara pribadi peduli pada penderitaan orang-orang yang menghadapi perang dan konflik bersenjata, lebih tinggi dari 70% responden global yang berpandangan serupa.
Komite Internasional Palang Merah melakukan jajak pendapat terhadap 16.000 milenial di 16 negara tentang perang.

Jenewa (ICRC) – Kaum milenial melihat petaka perang sangat mungkin terjadi selama masa hidup mereka. Bahkan, sebagian besar milenial yang disurvei oleh Komite Internasional Palang Merah (ICRC) berkeyakinan bahwa lebih besar kemungkinannya akan terjadi serangan nuklir pada dekade mendatang.

Survei terhadap lebih dari 16.000 milenial di 16 negara tahun 2019 lalu – setengahnya sedang dalam kondisi damai, dan setengahnya lagi sedang mengalami konflik – yang diminta oleh ICRC mengeksplorasi pandangan kaum milenial tentang konflik, masa depan perang dan nilai-nilai yang menjiwai hukum humaniter internasional, seperti penggunaan penyiksaan terhadap kombatan musuh.

Hasilnya menunjukkan bahwa kaum milenial gelisah dengan masa depannya, dan meningkatnya ketegangan global cenderung memperdalam ruang ketakutan ini.

Sejumlah besar responden, 47 persen, berpandanganan bahwa lebih besar kemungkinannya akan ada perang dunia ketiga selama masa hidup mereka. Dan meskipun 84 persen meyakini bahwa penggunaan senjata nuklir tidak pernah dapat diterima, 54 persen percaya bahwa kemungkinan terjadinya serangan nuklir pada dekade mendatang lebih besar .

“Perkiraan kaum milenial ini mungkin merefleksikan peningkatan polarisasi dan retorika dehumanisasi,” kata Presiden ICRC Peter Maurer. “Jika kaum milenial benar tentang perang dunia ketiga, penderitaan yang dialami Negara-negara dan kawasan akan sangat besar. Ini pengingat betapa pentingnya hukum perang yang melindungi umat manusia dipatuhi sekarang dan di masa mendatang.”

Yang menggembirakan, 74 persen milenial juga percaya bahwa perang dapat dihindari, dan jumlah yang hampir sama (75 persen) berpandangan bahwa batasan-batasan harus diberlakukan mengenai bagaimana perang dilakukan.

Namun, survei itu mengungkap tren mengkhawatirkan yang menunjukkan kurangnya penghormatan terhadap nilai-nilai dasar kemanusiaan yang diabadikan dalam hukum internasional: 37 persen berkeyakinan bahwa penyiksaan dapat diterima dalam beberapa keadaan – bahkan setelah konvensi PBB yang melarang penyiksaan dijelaskan kepada mereka; dan 15 persen percaya bahwa komandan harus melakukan apa pun untuk menang, terlepas dari adanya korban sipil yang ditimbulkan.

Satu hal yang jelas: survei menunjukkan bahwa pengalaman perang membuat orang membenci perang. Di Suriah, 98 persen mengatakan penggunaan senjata nuklir tidak pernah dapat diterima; 96 persen mengatakan penggunaan senjata kimia tidak pernah dapat diterima; 96 persen mengatakan hal yang sama tentang senjata biologis; dan 85 persen meyakini anggota tempur musuh yang ditangkap harus diperbolehkan untuk menghubungi kerabat mereka. Keempat isu itu mendapat respon tertinggi dari 16 negara yang disurvei.

“Ketika kamu melihat teman-teman dan keluargamu mengalami kengerian perang, kamu sama sekali tidak ingin berurusan dengan senjata perang. Respon survei dari kaum milenial di Suriah, Ukraina dan Afghanistan mengkonfirmasi fakta yang sudah jelas bagi kami: pengalaman perang membuat Anda membenci perang,” kata Mr. Maurer. Orang-orang di negara-negara yang terkena dampak perang lebih cenderung meyakini bahwa akan ada lebih sedikit perang atau tidak ada lagi perang di masa mendatang, dibandingkan dengan responden dari negara-negara damai (46 persen vs 30 persen). Respon dari negara-negara yang tengah berperang juga menunjukkan tingkat harapan yang tinggi: 69 persen responden di Ukraina meyakini perang di negara mereka kemungkinan akan berakhir dalam lima tahun ke depan.

Senjata Nuklir: Survei menemukan ambiguitas seputar isu senjata nuklir: setidaknya dua pertiga responden di 16 negara mengatakan bahwa penggunaan senjata nuklir “tidak pernah dapat diterima,” tetapi mayoritas – 54 persen – juga meyakini akan terjadi serangan nuklir selama dekade mendatang. Sebagian besar responden meyakini senjata nuklir harus dilarang (juga 54 persen). Di Suriah, 98 persen mengatakan penggunaan senjata nuklir tidak pernah dapat diterima, disusul Kolombia (93 persen), Ukraina (92 persen) dan Swiss (92 persen). Di ujung lain spektrum adalah respon dari Nigeria (68 persen) dan Amerika Serikat (73 persen). Secara keseluruhan, empat dari lima responden mengatakan bahwa keberadaan senjata nuklir merupakan ancaman bagi kemanusiaan; 64 persen responden mengatakan Negara yang memiliki senjata nuklir harus memusnahkannya.

Kekhawatiran Utama Kaum Milenial: Terlepas dari pandangan responden milenial tentang serangan nuklir di masa mendatang, mereka juga mengatakan bahwa senjata nuklir adalah isu yang paling tidak mengkhawatirkan dari 12 isu yang ditanyakan. Korupsi adalah isu yang paling mengkhawatirkan dengan 54 persen responden menyebutkannya; pengangguran menyusul dengan angka 52 persen; lalu meningkatnya kemiskinan dan terorisme, keduanya di angka 47 persen; dan selanjutnya perang dan konflik bersenjata sebesar 45 persen. Senjata nuklir disebut oleh 24 persen responden.

Masa Depan Pertempuran: Mengenai isu konflik di masa mendatang, 36 persen responden mengatakan bahwa drone dan robot otonom – yang tidak dikendalikan oleh manusia – akan meningkatkan jumlah korban sipil dalam perang dan konflik bersenjata; 32 persen mengatakan akan menurunkan jumlah korban sipil dan 24 persen mengatakan tidak ada bedanya.

Korban Sipil: 78 persen responden mengatakan bahwa kombatan harus menghindari korban sipil sebisa mungkin. Jumlah ini lebih tinggi di negara-negara damai dibandingkan dengan negara-negara yang sedang mengalami konflik (83 persen vs 73 persen).

Kesehatan Mental: Secara keseluruhan, 73 persen mengatakan bahwa mengatasi kebutuhan kesehatan mental para korban konflik sama pentingnya dengan makanan, air, dan tempat tinggal. Respon tertinggi datang dari Suriah sebesar 87 persen; yang terendah dari Israel sebesar 60 persen.

Penyiksaan: 55 persen mengatakan bahwa menyiksa seorang kombatan musuh tidak pernah dapat diterima; respons tertinggi datang dari Suriah dan Kolombia, keduanya 71 persen; respon terendah dating dari Israel di angka 23 persen dan Nigeria 29 persen.

Konvensi Jenewa: 75 persen berpendapat bahwa 70 tahun setelah disepakatinya Konvensi Jenewa, masih ada kebutuhan untuk memberlakukan batas-batas tentang cara perang dilakukan. Secara keseluruhan, 54 persen responden sudah mendengar tentang Konvensi Jenewa, dengan jumlah tertinggi di Suriah (81 persen), Rusia dan Ukraina (76 persen), Prancis (75 persen) dan Swiss (74 persen).

 Metodologi:

  • Survei ‘Millennials on War’ diminta oleh Komite Internasional Palang Merah dan dilaksanakan oleh Ipsos, yang melakukan survei pada 1 Juni – 7 Oktober 2019 dengan menggunakan desain metode campuran; 16.288 wawancara dilakukan terhadap orang dewasa berusia 20 hingga 35 yang tinggal di 16 lokasi berikut: Afghanistan, Kolombia, Prancis, Indonesia, Israel, Malaysia, Meksiko, Nigeria, Wilayah Pendudukan Palestina, Rusia, Afrika Selatan, Suriah, Swiss, Inggris , Ukraina, dan Amerika Serikat.
  • Kuota ditetapkan berdasarkan usia, jenis kelamin, wilayah, dan jenis pemukiman untuk memastikan bahwa sampel secara memadai mewakili struktur populasi milenial oleh variabel-variabel ini di masing-masing negara.
  • Catatan untuk editor: Data lengkap untuk masing-masing Negara akan diberikan berdasarkan Lebih banyak data hasil survei bisa diakses pada tanggal 16 Januari 2020 di: www.icrc.org/millennialsonwar. B-roll video konflik dan wawancara pop vox kaum milenial dari beberapa negara dapat diakses untuk kepentingan siaran di www.icrcnewsroom.org.

 

Nara hubung untuk informasi tambahan:

Generesius Nomer (Indonesia), gnomer@icrc.org or +62 811 8607 232
Anita Dullard (English), adullard@icrc.org or +41 795 741 554
Juliette Ebele (French, English), jebele@icrc.org or +41 78 785 18 20
Jason Straziuso (English), jstraziuso@icrc.org or +41 79 949 3512