UNESCO bermitra dengan Komite Internasional Palang Merah (ICRC) menyelenggarakan Konferensi Regional ke-8 ICRC tentang Hukum Humaniter Internasional di Asia dan Pasifik, dengan dukungan dari Pemerintah Indonesia. Didedikasikan untuk perlindungan kekayaan budaya, Konferensi berlangsung di Bali, Indonesia, pada 24 – 26 September 2019 dan menyatukan lebih dari 55 peserta yang mewakili 15 negara dari Asia dan Pasifik.

Ini adalah platform penting untuk membahas, antara lain, traktat Hukum Humaniter Internasional (HHI) lainnya tentang masalah ini, Protokol Kedua 1999 untuk Konvensi Den Haag 1954 tentang Perlindungan Cagar Budaya dalam Konflik Bersenjata, 20 tahun setelah adopsi. Dengan para praktisi dan ahli HHI mengambil posisi bersama dengan perwakilan Negara, Konferensi ini menyoroti perlunya kebijakan nasional yang komprehensif untuk perlindungan cagar budaya, yang melibatkan berbagai pemangku kepentingan di berbagai tingkatan, termasuk angkatan bersenjata, polisi dan masyarakat sipil. Juga ditekankan bahwa banyak langkah-langkah legislatif dan operasional untuk perlindungan cagar budaya, terutama dalam hal kesiapan, relevan untuk semua jenis situasi darurat, baik yang terkait dengan konflik bersenjata atau bencana.

Konferensi dibuka oleh Lazare Eloundou, Direktur Kebudayaan dan Keadaan Darurat, Sektor Kebudayaan UNESCO; Alexandre Faite, Kepala Delegasi Regional ICRC untuk Indonesia dan Timor-Leste; dan Achsanul Habib, Direktur Hak Asasi Manusia dan Urusan Kemanusiaan pada Kementerian Luar Negeri Indonesia.

Alexandre Faite menyoroti pentingnya perlindungan properti budaya. Dia mengutip jajak pendapat ICRC pada 2016 terhadap 17.000 orang dari 16 negara, yang hasilnya 72% percaya bahwa “menyerang bangunan keagamaan dan monumen bersejarah untuk melemahkan musuh adalah hal yang salah”, dengan mayoritas ini meningkat menjadi 84% di negara-negara yang secara langsung terdampak konflik bersenjata. “Survei ini mengingatkan kita bahwa orang ingin agar cagar budaya mereka dilindungi dan dihormati, dan itu menunjukkan ketidak-sesuaian antara opini umum dan kebijakan serta tindakan sejumlah Negara dan kelompok-kelompok bersenjata,” kata Faite, menggarisbawahi kritik Konferensi Regional untuk meningkatkan kesadaran yang lebih besar tentang masalah ini di antara negara-negara pihak.

Perwakilan negara berbicara tentang langkah-langkah yang diambil pemerintah mereka dalam beberapa tahun terakhir untuk memperkuat pelindungan warisan budaya. Khususnya, Fiji mengumumkan bahwa mereka sedang mempersiapkan ratifikasi Konvensi Den Haag 1954 serta dua Protokolnya (1954 dan 1999), yang akan membuat mereka menjadi Negara Berkembang Kepulauan Kecil (SIDS) pertama yang mengaksesi perjanjian ini.

Konferensi ini juga menyediakan platform penting untuk mengeksplorasi sinergi lebih lanjut antara otoritas budaya, hukum, luar negeri dan militer di tingkat nasional untuk pelindungan cagar budaya, memperkuat dasar pemikiran untuk kemitraan antara UNESCO dan ICRC, yang diresmikan pada 2016 melalui penandatanganan Nota Kesepahaman.


English version of this article could be read here.