Vincent Nicod, Kepala Delegasi Regional ICRC untuk Indonesia & Timor Leste

Keberadaan Komite Internasional Palang Merah (ICRC) memunculkan tanda tanya di benak kalangan yang telah mengenal baik ICRC dan tugas-tugas kemanusiannya. Masih relevankah kehadiran ICRC di tengah Indonesia yang demokratis dan nihil konflik yang dapat menjustifikasi penerapan Hukum Humaniter Internasional (HHI)? Sonny Nomer (pengelola blog ini) mewawancarai Vincent Nicod, Kepala Delegasi Regional ICRC untuk Indonesia dan Timor Leste, untuk menggali relevansi keberadaan organisasinya di Indonesia. Berikut ini adalah petikan wawancaranya.

Sonny Nomer (SN): Sudah berapa lama ICRC bekerja di Indonesia?

Vincent Nicod (VN): Intervensi ICRC pertama di Indonesia sekitar tahun 1940-an, sebelum Indonesia memproklamasikan kemerdekaannya. Semenjak saat itu, meski juga sempat beberapa kali terputus terkait situasi yang terjadi, ICRC menjalankan beberapa kegiatan komprehensif, berkat dukungan dan fasilitasi dari Pemerintah Indonesia.

Pada saat konflik di Aceh & Timor dan ketika terjadi ketegangan politik, etnis atau religius, ICRC secara berkala hadir di daerah-daerah yang terkena dampak kekerasan. Oleh karena itu, organisasi kami punya pemahaman yang baik tentang bagaimana penduduk sipil terkena dampak dan bagaimana ICRC dapat mengatasi masalah mereka melalui kemitraan dengan berbagai pemangku kepentingan, dimana PMI merupakan mitra khusus, bersama dengan pihak berwenang. Jika Anda telah melihat perjalanan sejarah keberadaan kami di Indonesia, Anda akan paham apa yang saya maksud.

Kami menandatangani dua perjanjian dengan Pemerintah, yang pertama pada tahun 1977 mengenai Kunjungan Tahanan dan yang satunya lagi tahun 1987 untuk menetapkan status ICRC di Indonesia sebagai suatu Organisasi Internasional. Sejak itu, kami terus berada dan bekerja di Indonesia tanpa terputus.

SN: Bagaimana Anda menjelaskan situasi secara keseluruhan di Indonesia saat ini?

VN: ICRC tidak mengomentari secara terbuka isu-isu politik di negara-negara dimana organisasi kami beroperasi. Yang bisa saya katakan, Indonesia dalam perjalanan sejarahnya dikenal secara luas telah berhasil melewati berbagai krisis ekonomi dan politik yang cukup serius untuk kemudian membangun sebuah demokrasi sehingga saat ini berlandaskan pada nilai-nilai universal. Tapi sumber-sumber ketegangan masih tetap ada dan insiden-insiden kekerasan sporadis masih terjadi.

SN: Lantas kenapa ICRC masih ada di Indonesia?

VN: Setelah Indonesia mengatasi berbagai konflik yang terjadi, ICRC harus menyesuaikan perannya sejalan dengan evolusi situasi kemanusiaan di sini, melalui peningkatan kerja sama dengan PMI dan mitra-mitra kerja terkait lainnya dalam berbagai lembaga pemerintah. Misalnya, kami baru saja menandatangani Nota Kesepahaman dengan TNI mengenai diseminasi aturan-aturan dasar HHI (hukum humaniter internasional – red) dan HAM di kalangan militer.

Sebelumnya, kami berada dalam posisi reaktif ketika terjadi konflik, dengan menggelar operasi-operasi kemanusiaan untuk mengurangi dampak dari kekerasan yang terjadi. Sekarang, kami memasuki fase proaktif. Kami bekerja sama dengan PMI dan otoritas terkait untuk mengantisipasi bencana, yang naasnya sering melanda Indonesia, dan untuk mengidentifikasi isu-isu penting di tingkat nasional atau global, di mana kami dapat berkontribusi, seperti imigran, perdagangan manusia, pandemi, bencana teknologi, sumber-sumber baru kekerasan, senjata-senjata baru, dll.

SN: Konkretnya bagaimana?

VN: Sebagai contoh, hingga Maret 2009, sama seperti yang kami lakukan di sekitar 70 negara lain di seluruh dunia, ICRC mengunjungi para tahanan di seluruh Indonesia untuk memantau perlakuan terhadap mereka dan kondisi penahanan mereka, dan melaporkan temuan-temuan dan rekomendasi kami hanya kepada pihak berwenang penahanan, dalam hal ini Direktorat Jenderal Pemasyarakatan (Ditjenpas) atau Kepolisian Indonesia (Polri). Kendati kadang-kadang timbul kesulitan, kerjasama yang telah kami bangun terus berlanjut dan bergeser ke pendekatan baru. Kami baru-baru ini menandatangani MoU dengan Ditjenpas, tetapi sebelumnya sejak tahun 2006, berkat keahlian yang kami miliki dan kerjasama yang baik dari Ditjenpas dan Kepolisian, kunjungan kami telah diperluas hingga di luar lingkup awal tahanan “politik/keamanan” sebagaimana tertuang dalam perjanjian tahun 1977, sehingga memberikan manfaat bagi semua tahanan yang berada di fasilitas penahanan yang kami kunjungi.

Kerjasama terkait isu-isu penahanan saat ini fokus pada Kesehatan dan Air & Sanitasi. Secara khusus, ICRC berkontribusi pada penyusunan dan penerbitan pedoman teknis bagi para staf penjara dan menfasilitasi pelatihan bagi kepala lapas/rutan serta staf khusus di bidang Kesehatan, Air, Sanitasi, dan Habitat mengenai topik-topik terkait penahanan.

Keterlibatan ICRC sebagai organisasi kemanusiaan yang tidak memihak, netral dan independen, yang keahliannya di bidang penahanan sudah lama terbangun dan yang bekerja untuk memfasilitasi tugas dari mereka yang bertanggung jawab atas pengelolaan tempat penahanan di Indonesia, diformalkan dalam MoU dan perjanjian-perjanjian kerjasama, yang ditandatangani dengan Ditjenpas pada Maret tahun 2011. Perjanjian-perjanjian tersebut menjadi kerangka kerja baru bagi dukungan struktural ICRC kepada Ditjenpas di bidang Kesehatan dan Kesehatan Lingkungan. Selain aspek pelatihan, asesmen teknis gabungan di bidang penyediaan air, sistem kesehatan dan kondisi hidup telah dilakukan dan upaya rehabilitasi yang dilakukan sesuai dengan perjanjian kerjasama tadi akan segera dimulai. Ini menjadi contoh bagus bagaimana ICRC beradaptasi pada realitas baru di sini.

Contoh lain, kami bekerja sama dengan unit forensik Polri, untuk bertukar pengalaman dan berkonsolidasi, di bidang Human Remains Management (HRM) pasca bencana-bencana besar. Baru-baru ini, Menteri Luar Negeri Indonesia mengatakan “kita harus mengubah tantangan menjadi peluang”. Indonesia sering terkena bencana besar, tsunami, gempa bumi, letusan gunung berapi dan Polri telah mengembangkan kapasitas di bidang HRM, dimana hal ini sangat menarik bagi kami, sehingga kami bekerja sama untuk saling membantu di bidang ini. Tantangannya adalah bencana, peluangnya adalah belajar dari bencana dan mengadaptasikan ‘teknik-teknik’ kemanusiaan terhadap tantangan tersebut, dengan demikian kita akan lebih siap ketika bencana kembali terjadi!

Hal yang sama juga terjadi dalam kerja sama kami dengan TNI: para perwira dari Indonesia mengambil bagian secara aktif dalam beberapa pelatihan yang diselenggarakan oleh ICRC di San Remo, Italia, di Swiss, di Afrika Selatan, dll. Beberapa minggu lalu, kami memfasilitasi partisipasi seorang perwira polisi dalam kursus yang diselenggarakan ICRC di Pulau Madeires, Portugal tentang HRM. Mahasiswa dari Indonesia  juga mencatat prestasi bagus dalam mootcourt competition (kompetisi pengadilan semu – red) untuk mahasiswa hukum di Asia, yang diselenggarakan di Hong-Kong, dan kami bisa meningkatkan contoh-contoh kegiatan ICRC dalam konteks Indonesia yang baru.

Warga negara Swiss yang lahir di kawasan berbahasa Prancis, tidak terlalu jauh dari Kantor Pusat ICRC di Jenewa, Vincent Nicod yang saat ini menjabat sebagai Kepala Delegasi Regional ICRC untuk Indonesia dan Timor Leste, telah bekerja selama hampir 32 tahun dengan ICRC. Vincent pernah ditugaskan ke berbagai negara di Asia dan Asia Tenggara (India, Thailand, Filipina dan, sejak Agustus 2008, Indonesia) dan Afrika (Sudan, Ethiopia, Kenya, Mozambik, Angola, Afrika Selatan dan Kongo). Beliau adalah lulusan di bidang Sejarah, Ilmu Politik dan Hubungan Internasional.

SN: Adakah kendala yang organisasi Anda hadapi di Indonesia?

VN: Kendala utamanya adalah citra ICRC yang telah terbangun melalui pekerjaannya selama bertahun-tahun pada saat terjadi konflik. Banyak mitra yang telah berinteraksi dengan kami sejak bertahun-tahun yang lalu masih menyimpan memori ketika bekerja dengan kami dalam konteks konflik. Karenanya, mereka masih melihat kami hanya terkait erat dengan konflik, berita buruk. Mereka belum paham bahwa ICRC dapat berbuat lebih dari itu. Mereka menyamakan kehadiran ICRC di suatu negara dengan gambaran gangguan dan persoalan atau ketegangan politik.

Ini berarti kami harus bekerja keras untuk menghadirkan wajah lain dari ICRC bagi suatu negara, salah satunya bekerja dalam situasi damai. Kami tidak hanya bekerja pada saat terjadi konflik. Tentu saja, di media internasional, aksi-aksi kami dalam situasi konflik lebih spektakuler, sebagaimana digambarkan oleh media mengenai keterlibatan kami di Irak, Afghanistan, Somalia, Timur Tengah, dll tetapi Indonesia berada dalam situasi yang berbeda, maka ICRC yang hadir di sini juga berbeda!

SN: Anda tadi mengatakan bahwa demokrasi telah terbangun di Indonesia, dimana institusi-institusi yang ada bisa mengatasi sendiri sebagian besar persoalan. Contohnya penanganan bencana di Merapi, Yogyakarta. Kenapa Anda merasa ICRC masih bisa memberikan kontribusi di sini?

Ini pertanyaan penting. Tentu saja, institusi-institusi yang ada di Indonesia, masyarakat sipil dan LSM telah melakukan pekerjaan hebat di sini, dalam berbagai jenis operasi. Namun, ICRC masih punya peran untuk dimainkan berdasarkan beberapa pertimbangan.

Pertama, keahliannya dalam masalah-masalah kemanusiaan; seperti di bidang penahanan, sebagaimana saya sebutkan sebelumnya, atau di bidang RFL (pemulihan kembali hubungan keluarga yang tercerai-berai seusai bencana), di mana kepemimpinan ICRC diakui oleh komunitas kemanusiaan internasional. Di New Orleans, Amerika Serikat, ketika terjadi bencana Badai Katrina, Palang Merah Amerika meminta dukungan ICRC untuk RFL. Kami juga mengirim spesialis RFL ke Jepang pada saat bencana tsunami baru-baru ini. Kami terbiasa beroperasi di daerah yang terkena dampak berbagai sumber kekerasan yang bersifat etnis, suku, agama atau sosial. Sebagai contoh, kami telah mengembangkan pendekatan yang sangat orisinil di kawasan kumuh Rio de Janeiro, untuk mengurangi penderitaan para korban kekerasan terutama para korban yang termasuk dalam kategori termiskin di sana. Bahkan ketika konflik telah berakhir, masih ada beberapa konsekuensi yang harus kami hadapi. Dalam konteks eks-Yugoslavia, kami masih memiliki beberapa kantor yang beroperasi di negara-negara baru yang lahir akibat terjadinya perpecahan. Dalam menghadapi konsekuensi-konsekuensi konflik masa lalu, pengalaman ICRC bersifat unik dan khas, dalam Penelusuran orang-orang hilang dan membantu keluarga mereka untuk melewati kecemasan, misalnya ketika mencari tahu berita atau keberadaan keluarga mereka yang hilang, mengunjungi orang-orang yang masih ditahan, atau masih banyak lagi.

Selanjutnya, Indonesia adalah negara penting di kawasan ini. Indonesia adalah negara demokrasi terbesar keempat di dunia dan terbesar di dunia Muslim. Indonesia memainkan peran berpengaruh dalam perekonomian (G20), politik (ASEAN, Gerakan Non Blok, OKI dan organisasi-organisasi multilateral lainnya) dan dalam isu-isu sosio-budaya (jembatan antara dunia Barat dan Muslim). Suaranya kuat dan didengar di antara negara-negara dan ICRC ingin menggunakan pengaruh Indonesia untuk memajukan kegiatan kemanusiaannya di kawasan ini dan di forum multilateral. Peran dan diplomasi Indonesia di dunia kuat, dengan atau tanpa ASEAN: kami ingin memastikan bahwa aspek-aspek kemanusiaan tidak dilupakan dalam perjanjian-perjanjian politik, perundingan perdamaian, dan resolusi sengketa ketika Indonesia membantu proses negosiasi di kawasan ini. Kami menjadi semacam suara hati yang berseru-seru dalam negosiasi-negosiasi tersebut, mengingatkan semua pihak mengenai tanggung jawab mereka terhadap HHI yang dewasa ini sungguh-sungguh universal, karena semua negara di dunia telah menandatangani konvensi Jenewa.

SN: Termasuk Sudan Selatan?

N: Benar, Anda betul, satu negara belum … tapi negara ini sangat muda, baru berusia satu bulan, dan masih harus membentuk lembaga-lembaganya. Saya tidak ragu, karena saya pernah bekerja di sana selama hampir empat tahun, bahwa pemerintah Sudan Selatan akan segera menandatangani dan meratifikasi Konvensi Jenewa serta instrumen-instrumen HHI lainnya. Penasihat hukum kami di antaranya tengah membantu pemerintahan baru dalam penyusunan undang-undang yang diperlukan.

SN: Apa yang Anda harapkan dari pemerintah di sini untuk memfasilitasi pekerjaan Anda?

VN: Pemerintah perlu mempercayai kami dan lebih mendukung kami. Kami membantu menangani masalah-masalah pelik sepanjang sejarah Indonesia. Situasi telah berubah dan kami setuju bahwa saat ini kami perlu mendapatkan perjanjian baru berdasarkan situasi baru di negara ini, yang seyogyanya sama dengan yang telah kami tanda tangani dengan lebih dari 80 negara di seluruh dunia. Sebagai role-model di kawasan, Indonesia harus benar-benar transparan dan ini termasuk meningkatkan akses ICRC ke ruang lingkup kegiatannya.

SN: Apakah Anda optimis itu akan terwujud?

VN: Ya, saya optimis. Indonesia adalah kekuatan moral, ekonomi dan politik baru di kawasan. ICRC adalah organisasi kemanusiaan internasional tertua yang aktif di negara ini dan HHI bersifat universal. Kami sedang menuju ke tercapainya kesamaan di mana membangun hubungan kami.

SN: Sudah ada sinyal positif?

VN: Dialog kami dengan Pemerintah Indonesia terus terjalin mengenai hal ini, progresnya barangkali kurang cepat tapi keinginan untuk mencapainya senantiasa ada dalam setiap interaksi kami.

SN: Satu lagi, mengapa Anda membuat blog dalam Bahasa Indonesia?

VN: Karena kami perlu lebih dipahami oleh seorang aktor regional yang semakin penting, yang ingin ICRC mobilisasikan untuk mendukung inisiatif kemanusiaannya. Pengaruh Indonesia semakin global, demikian juga misi ICRC: kami perlu berbicara dalam bahasa yang sama.