Jakarta (ICRC) –Universitas Parahyangan keluar sebagai juara nasional kompetisi Peradilan Semu Hukum Humaniter Internasional setelah mengungguli Universitas Indonesia di babak final yang berlangsung pada hari Minggu (4/11) di Bandung, Jawa Barat. Dengan demikian, Universitas Parahyangan akan mewakili Indonesia untuk berkompetisi di ajang sejenis di level internasional, yang akan berlangsung Maret 2019 di Hong Kong.

Kompetisi ini diselenggarakan bersama-sama oleh Fakultas Hukum Unpar dengan Komite Internasional Palang Merah (ICRC). Kompetisi yang bertajuk 13th Indonesian Round of the International Humanitarian Law Moot Court Competition 2018 (Kompetisi Peradilan Semu Hukum Humaniter Internasional ke-13 tahun 2018) berlangsung pada tanggal 2-4 November 2018 dan diikuti oleh 24 universitas terbaik dari seluruh Indonesia sebagai peserta dan 2 universitas lainnya sebagai observer (pengamat).

Para peserta IHL Moot Court tahun ini.
Foto: Dokumentasi UNPAR/Cakra Jaka Adhyaksa

Yang menjadi peserta adalah Universitas Airlangga, Universitas Andalas, Universitas Brawijaya, Universitas Gadjah Mada, Universitas Indonesia, Universitas Islam Indonesia, Universitas Islam Riau, Universitas Katolik Atma Jaya, Universitas Katolik Parahyangan, Universitas Katolik Soegijapranata, Universitas Kristen Maranatha, Universitas Lampung, Universitas Negeri Surabaya, Universitas Padjadjaran, Universitas Pancasila, Universitas Pelita Harapan, Universitas Pendidikan Ganesha, Universitas Riau, Universitas Sebelas Maret, Universitas Syiah Kuala, Universitas Tanjungpura, Universitas Tarumanagara, Universitas Trisakti, dan Universitas Udayana. Sedangkan dua universitas lain yang menjadi observer adalah President University dan Universitas Diponegoro.

Berperan sebagai Jaksa dan Pengacara di pengadilan level internasional

Mahasiswa yang mengikuti kompetisi ini, selain harus fasih berbahasa Inggris, juga memiliki pengetahuan memadai tentang hukum internasional secara umum, namun secara khusus salah satu cabangnya, yaitu Hukum Humaniter Internasional (HHI). HHI adalah hukum yang berlaku pada saat konflik bersenjata, sehingga HHI sering pula disebut sebagai Hukum Perang atau Hukum Konflik Bersenjata.

Mahasiswa ditantang untuk mengulik hukum humaniter internasional dan prinsip-prinsipnya dalam Moot Court Competition ini. © ICRC / Ursula N. Langouran

Kompetisi ini menggunakan sebuah kasus imajiner yang disusun oleh tim penasihat hukum ICRC. Kasusnya adalah konflik yang sedang terjadi di Provinsi Bonham. Bonham menjadi bagian dari Republik Donka setelah berakhirnya era penjajahan asing, meskipun secara kultur, bahasa, agama, dan etnis, Bonham justeru sama dengan salah satu negara tetangga, yakni Negara Page. Bonham sudah sejak lama mengalami pergolakan dan secara terang-terangan mengungkapkan keinginan untuk lepas dari Donka. Upaya ini mendapat dukungan dari Page.

Untuk meredam pergolakan di Bonham, Pemerintah Donka menugaskan Kolonel Nazir. Dalam salah satu operasi militer, Kolonel Nazir diduga kuat telah melakukan pelanggaran terhadap Hukum Humaniter Internasional. Atas dugaan tersebut, upaya dilakukan agar Kolonel Nazir dapat diadili di Mahkamah Pidana Internasional ( International Criminal Court – ICC) di Den Haag, Belanda. Pra-Peradilan pun digelar untuk menentukan apakah ICC memiliki kewenangan untuk mengadili kasus Kolonel Nazir atau tidak.

Dalam kompetisi ini, setelah mengkaji dan menyusun memorial terkait kasus ini sejak empat bulan yang lalu, para peserta secara bergantian memainkan peran sebagai Penuntut/Jaksa (Prosecutor) atau Pembela/Penasehat Hukum (Defendant). Penuntut harus mengungkapkan argumen dan dalil-dalil hukum yang mendukung bahwa Kolonel Nazir telah melakukan pelanggaran HHI dan bahwa dia layak diadili di ICC. Sedangkan Pembela harus membuktikan sebaliknya. Dengan demikian, secara esensial, para peserta sedang berperan menjadi Penuntut Umum/Jaksa di Mahkamah Pidana Internasional (ICC) dan Pembela/Penasehat Hukum Tersangka di pengadilan level internasional.

Suasana final di mana UI sebagai Prosecutor berhadapan dengan UNPAR sebagai Defendant.

Bukan soal kemenangan semata

Dr. Tristam Pascal Moeliono, Dekan Fakultas Hukum Unpar menyambut baik ditunjuknya Unpar sebagai tuan rumah kompetisi tahunan prestisius ini. Dr. Moeliono juga memandang positif kegiatan kompetisi semacam ini tetapi menekankan bahwa kemenangan bukan segala-galanya.

“Kegiatan ini seyogyanya tidak dipandang semata-mata sebagai ajang kompetisi atau sekedar menunjukkan universitas mana yang terbaik. Ada yang lebih penting dari itu, yaitu menyebarkan pengetahuan tentang Hukum Humaniter Internasional. Selain itu, membangun kesadaran tentang pentingnya HHI bagi Indonesia harus menjadi tujuan esensial dari kompetisi ini,” papar Dr. Moeliono.

Sementara itu, Alexandre Faite, Kepala Delegasi Regional ICRC untuk Indonesia dan Timor-Leste mengungkapkan bahwa kompetisi ini sangat penting untuk mendukung peran Indonesia yang kian signifikan di bidang Hukum Humaniter Internasional di level internasional. Di sini, para mahasiswa dapat mengasah kemampuan mereka dalam melakukan riset, membuat tulisan, dan melakukan advokasi hukum tentang berbagai dampak kemanusiaan dari konflik bersenjata atau situasi-situasi kekerasan lainnya, imbuhnya.

“Banyak peserta kompetisi ini yang mungkin memilih karir yang berhubungan dengan HHI, tapi saya percaya pengetahuan dan pelatihan terkait HHI menjadi alat yang bermanfaat untuk mengasah logika hukum para peserta, yang suatu saat nanti mungkin dipanggil untuk menjadi pengambil keputusan dalam berbagai kapasitasnya. Ketika itu terjadi, mereka dapat membawa Indonesia atau bahkan dunia ke arah yang lebih sejahtera, bermartabat dan berperikemanusiaan,” jelas Alexandre.

Kategori pemenang

Untuk menjadi juara, Universitas Parahyangan harus melewati dua babak penyisihan, babak perempat final, babak semifinal dan babak final. Di semifinal, Universitas Parahyangan mengalahkan Universitas Pelita Harapan, sedangkan finalis lain, Universitas Indonesia mengalahkan Universitas Islam Indonesia.

Berikut ini adalah daftar lengkap pemenang Kompetisi Peradilan Semu Hukum Humaniter Internasional Ke-13 tahun 2018.

Juara Nasional Indonesia: Universitas Parahyangan
Runner Up Nasional: Universitas Indonesia
Semifinalis:
Universitas Islam Indonesia dan Universitas Pelita Harapan

Oralis Terbaik: Bagoes Carlvito dari Universitas Gadjah Mada
Oralis Terbaik Kedua: Shannon Tamara dari Universitas Pelita Harapan
Oralis Terbaik Ketiga: Audrey Kurnianti dari Universitas Gadjah Mada

Memorial Terbaik: Universitas Islam Indonesia
Memorial Terbaik Kedua: Universitas Katholik Atmajaya Jakarta
Memorial Terbaik Ketiga: Universitas Sebelas Maret

Spirit of the Moot
(Universitas pendatang baru dengan peringkat tertinggi dan menunjukkan semangat luar biasa dalam berkompetisi): Universitas Kristen Maranatha