Penggunaan pesawat tanpa awak (drones) dalam konflik bersenjata telah meningkat secara signifikan dalam beberapa tahun ini, menimbulkan perhatian terhadap isu kemanusiaan, hukum, dan lainnya. Peter Maurer, presiden ICRC, mendiskusikan hal-hal tersebut dan pentingnya menghormati hukum internasional.

Apakah senjata-senjata ini sah? Apakah senjata tersebut sesuai dengan kewajiban untuk secara konstan memperhatikan keselamatan penduduk sipil? Siapa yang harus bertanggungjawab atas pelanggaran hukum yang mungkin terjadi? Presiden ICRC, Peter Maurer, mendiskusikan tantangan-tantangan tersebut yang telah muncul dari adanya perkembangan-perkembangan tersebut, dan perlunya Negara-negara untuk memperhitungkan konsekuensi kemanusian dari teknologi dan persenjataan baru sebelum mengembangkan atau mempergunakannya.

Apakah pesawat tanpa awak bersenjata (armed drones) sah?

Menurut hukum humaniter internasional – aturan perang, yakni seperangkat hukum yang mengatur konflik bersenjata – pesawat tanpa awak tidaklah secara tertulis dilarang, ataupun dianggap sebagai alat yang akan menimbulkan tindakan tidak pandang bulu (indiscriminate) atau penipuan (perfidy). Dalam hal ini, pesawat tanpa awak tidaklah berbeda dari senjata yang diluncurkan dari pesawat berawak seperti helikopter ataupun pesawat tempur lainnya. Meskipun pesawat tanpa awak bukanlah tidak sah, namun adalah penting penggunaannya tunduk pada hukum internasional.

Penting untuk disampaikan bahwa tidak semua pesawat tanpa awak dipersenjatai dan digunakan untuk bertempur. Pesawat tanpa awak tak bersenjata untuk pengawasan dapat digunakan juga untuk kepentingan sipil. Contohnya, pesawat ini dapat mendeteksi kebakaran dan menyelamatkan nyawa. Pesawat semacam ini juga dapat digunakan untuk menghimpun informasi penting yang vital bagi personel bantuan kemanusiaan yang bekerja di wilayah yang terkena bencana alam. Di masa depan, pesawat tanpa awak dapat pula membantu pengantaran bantuan kemanusiaan di wilayah-wilayah terpencil. Bahkan mayoritas pesawat tanpa awak milik militer tidak dipersenjatai dan digunakan untuk pemantauan, khususnya untuk transmisi informasi mengenai lokasi dan identifikasi target musuh.

Namun demikian, kebanyakan perdebatan terkini telah digerakan oleh penggunaan armed drones untuk operasi tempur di misalnya, Afghanistan, Gaza, atau Yaman. Pendukung penggunaan pesawat tanpa awak berpendapat bahwa pesawat tanpa awak membuat serangan menjadi lebih tepat dan hal ini telah dibuktikan dengan sedikitnya jumlah korban dan kehancuran yang terjadi. Tetapi serangan pesawat tanpa awak juga telah salah membunuh atau melukai warga sipil dalam banyak kesempatan.

Bagaimana hukum melihat fenomena pesawat tanpa awak?

Pesawat tanpa awak tidak secara spesifik disebutkan dalam perjanjian-perjanjian terkait senjata atau perangkat hukum lainnya dari hukum humaniter internasional. Akan tetapi, penggunaan segala sistem persenjataan, termasuk armed drones, dalam situasi konflik bersenjata sangat jelas harus tunduk pada aturan dalam hukum humaniter internasional. Hal ini berarti, ketika menggunakan pesawat tanpa awak, para pihak dalam suatu konflik harus selalu membedakan antara kombatan dan sipil dan antara objek militer dan objek sipil. Mereka harus mengambil semua langkah kehati-hatian yang memungkinkan untuk menghindari jatuhnya korban penduduk dan infrastruktur sipil, serta mereka harus menunda atau membatalkan serangan bila kerugian atau kerusakan yang diprediksi akan timbul terhadap penduduk sipil atau objek sipil berlebihan dibandingkan dengan keuntungan militer langsung dan nyata yang akan didapat. Demikian pula, pesawat tanpa awak tidak dapat digunakan untuk membawa senjata yang dilarang seperti senjata kimia atau biologis. Di sisi lain, dari perspektif hukum humaniter internasional, setiap senjata yang memungkinkan untuk melancarkan serangan yang lebih tepat, dan membantu terhindarnya atau meminimalisir korban sipil insidentil, cedera terhadap warga sipil, ataupun kerusakan objek sipil, harus dijadikan pilihan dibandingkan senjata yang tidak dapat melakukannya. Apakah penggunaan armed drones benar menawarkan kelebihan-kelebihan tersebut akan tergantung pada setiap kejadian. Hal ini merupakan subjek perdebatan yang berlangsung dikarenakan, antara lain, kurangnya informasi atas efek dari serangan pesawat tanpa awak.

Bila dan ketika pesawat tanpa awak digunakan dalam situasi di mana tidak ada konflik bersenjata, kerangka hukum yang berlaku adalah hukum nasional terkait dan hukum hak asasi manusia internasional yang terkait dengan standar-standar penegakan hukum, bukanlah hukum humaniter internasional.

Apakah ini berarti penggunaan pesawat tanpa awak sah dalam segala situasi?

Jawabannya tergantung pada kerangka hukum mana yang berlaku dalam setiap kasus, dan peraturan mana yang perlu ditaati. Sangatlah krusial bahwa setiap situasi harus dipertimbangkan berdasarkan pada kepantasannya. Pertanyaan apakah situasi tertentu yang mengarah pada konflik bersenjata dan maka membutuhkan pemberlakuan hukum perang, dapat menjadi sumber ketidaksepakatan, termasuk antara ICRC dan beberapa Negara. Batasan-batasan antara berbagai tipe situasi kekerasan telah menjadi sangat tidak jelas. Cakupan geografis atas pemberlakuan hukum humaniter internasional telah menjadi bahan perdebatan. Adalah penting bagi kita untuk terus melanjutkan diskusi ini, tetapi menurut pandangan kami, tidak ada pendekatan “satu pendapat untuk kepuasan bersama”. ICRC menggunakan pendekatan kasus per kasus dalam menentukan kerangka hukum manakah yang berlaku terhadap situasi kekerasan dan mana yang harus ditaati. Aturan-aturan ini menentukan keabsahan penggunaan pesawat tanpa awak dalam konteks terkait tersebut. Secara umum, ICRC pertama-tama membagikan hasil analisisnya kepada Negara-negara dan pihak terkait yang terlibat dalam konflik.

Pesawat tanpa awak tidak hanya membunuh. Bagaimana dengan kemungkinan dampak psikologis yang timbul dari pesawat tanpa awak dengan berterbangan di atas suatu tempat selama berjam-jam atau berhari-hari tanpa akhir?

Potensi dampak psikologis dari pesawat tanpa awak merupakan perhatian yang mana ICRC bagi dengan organisasi kemanusiaan lainnya. Apa tingkat stress yang muncul dari pesawat tanpa awak? Apa konsekuensi dari kehadiran pesawat tersebut secara terus menerus di angkasa terhadap kesehatan mental mereka yang tinggal di bawahnya? Sayangnya, informasi tangan pertama tidak selalu tersedia, terutama ketika pesawat tanpa awak digunakan di wilayah di mana hambatan keamanan membuatnya sulit untuk melakukan sebuah evaluasi independen dan menyeluruh mengenai dampaknya. Meskipun demikian, kami berusaha untuk mengkaji efek-efek dan untuk menentukan apakah penggunaan pesawat tanpa awak dapat melanggar hukum humaniter internasional – seperti yang kami lakukan terhadap senjata lain yang digunakan. Di tempat-tempat di mana kami dapat menghimpun informasi, kami berusaha untuk mendiskusikan hal ini bersama dengan isu-isu kemanusiaan lainnya secara bilateral dengan otoritas terkait dengan tujuan untuk mengurangi penderitaan manusia.

Siapa yang dapat dijadikan sasaran menurut hukum humaniter internasional?

Dalam konflik bersenjata, menurut hukum humaniter internasional, kekuatan mematikan dapat digunakan terhadap kombatan atau pejuang serta terhadap warga sipil yang terlibat langsung dalam permusuhan.

Hal yang lebih kompleks adalah situasi di mana seseorang terlibat secara langsung dalam permusuhan dari wilayah Negara yang tidak ikut bertempur, atau pindah ke wilayah Negara yang tidak ikut bertempur setelah ia terlibat dalam konflik bersenjata. Pertanyaannya kemudian ialah apakah kekuatan mematikan dapat secara sah digunakan terhadap orang tersebut dan menurut aturan yang mana. Pendapat yang ada sangat beragam. ICRC berpandangan bahwa hukum humaniter internasional tidak berlaku dalam situasi tersebut, berarti orang tersebut tidak dapat dianggap sebagai sebuah target yang sah berdasarkan hukum perang. Berpendapat sebaliknya akan berarti seluruh dunia berpotensi menjadi medan tempur dan orang-orang yang berpindah-pindah di seluruh dunia dapat menjadi target yang sah berdasarkan hukum humaniter internasional di mana pun mereka berada. Tentu saja, orang yang digambarkan di atas dapat dimintakan pertanggunjawabannya atas tindakannya, dan, menurut kami, hukum hak asasi manusia akan berlaku atas setiap penggunaan kekuatan yang diperlukan.

Operator pesawat tanpa awak dapat secara fisik absen dari medan tempur. Lalu, siapa yang bertanggungjawab? Apakah operator pesawat tanpa awak dapat dijadikan sasaran berdasarkan hukum humaniter internasional?

Meskipun operator sistem senjata yang dikendalikan dari jauh seperti pesawat tanpa awak dapat berlokasi jauh dari medan tempur, mereka tetap mengoperasikan sistem persenjataan, melakukan identifikasi target, dan menembakan misil. Mereka secara umum beroperasi di bawah rantai komando, maka menurut hukum humaniter internasional, operator pesawat tanpa awak, dan rantai komando mereka bertanggungjawab atas apa yang terjadi. Fakta bahwa mereka berada ribuan kilometer dari medan tempur tidak menghilangkan operator pesawat tanpa awak dan rantai komando mereka dari pertanggungjawaban, yang mana termasuk menjunjung prinsip pembedaan dan proporsionalitas, serta mengambil langkah kehati-hatian yang diperlukan dalam serangan. Maka, operator pesawat tanpa awak tidaklah berbeda dari pilot pesawat berawak seperti helikopter atau pesawat tempur lainnya sejauh terkait kewajiban mereka untuk taat pada hukum humaniter internasional terkait, dan mereka tidaklah berbeda sejauh terkait menjadi sasaran berdasarkan aturan hukum humaniter internasional.