ASEAN Institute for Peace and Reconciliation (Institut ASEAN untuk Perdamaian dan Rekonsiliasi/AIPR), bersama dengan Kantor Penasihat President Filipina untuk Proses Perdamaian (OPAPP) dan Komite Internasional Palang Merah (ICRC), mengadakan sebuah symposium bertajuk “Memperkuat Konvergensi untuk Aksi Kemanusiaan: Simposium AIPR tentang Hukum Humaniter Internasional” pada 2-3 Oktober 2017 di Manila, Filipina. Kegiatan tersebut didukung pula oleh pemerintah Norwegia dan Swiss.

Simposium mengumpulkan anggota dewan AIPR beserta Dewan Penasihatnya, para Duta Besar dari negara anggota ASEAN, ASANAPOL, LSM, badan-badan PBB,  organisasi internasional, think-tank, universitas, organisasi keagamaan, tokoh masyarakat dan perwakilan dari Gerakan Palang Merah dan Bulan Sabit Merah. Para peserta mendalami konvergensi hukum humaniter internasional, prinsip kemanusiaan, norma agama serta praktik budaya ddalam rangka menjawab tantangan terkait kemanusiaan dan perlindungan di ASEAN.

CC BY-NC-ND / ICRC

Pembicara dan moderator dari Indonesia termasuk Duta Besar Rezlan Jenie; Direktur Eksekutif AIPR, Dr. Hilman Latief; wakil rektor Universitas Muhammadiyah Yogyakarta, Dr. Rahmawati Husein; Wakil Ketua Pusat Penanggulangan Bencana Muhammadiyah dan Najelaa Shihab, pendiri dan kepala sekolah Sekolah Cikal dan Rumah Main Cikal.

Berikut Kepala Delegasi Regional ICRC untuk Indonesia dan Timor-Leste di Jakarta, Christoph Sutter, menjawab pertanyaan terkait pendekatan ICRC di kawasan dan kerjasama dengan ASEAN dalam urusan kemanusiaan.

Mengapa ICRC dan OPAPP melakukan upaya bersama untuk mendukung AIPR?

Dengan ketidakpastian dan perubahan polarisasi dunia hari ini, ditambah dengan tantangan yang terus meningkat, ada kebutuhan yang lebih besar untuk bekerja sama dalam mengatasi tantangan bantuan dan perlindungan kemanusiaan dan memastikan penghormatan terhadap hukum humaniter di kawasan dan di luar kawasan. Membantu dan melindungi orang-orang dengan cara yang lebih baik dalam krisis kemanusiaan saat ini membutuhkan kerjasama kemanusiaan pada level operasional, pencegahan dan diplomatik.

ASEAN adalah mitra alami yang sangat diminati oleh ICRC, karena pengalaman dan kebijaksanaan selama 50 tahun, ASEAN memiliki posisi yang tepat untuk mendukung perdamaian di forum global, untuk menggunakan pengaruh dan pengalamannya – terutama dalam bantuan kemanusiaan dan pertolongan dalam bencana – dan untuk mengurangi akibat dari krisis kemanusiaan, baik bencana alam maupun bencana yang disebabkan oleh manusia. Bangsa dan penduduk ASEAN sangat kaya akan semangat kemanusiaan, memiliki banyak pengalaman, keahlian dan kapasitas dalam segala macam manajemen krisis, dan memiliki ambisi dan kapasitas untuk merawat komunitas regional mereka.

Dalam kerangka ini, konferensi regional ini memberikan kesempatan yang relevan untuk berbagi pengalaman dan praktik terbaik dengan para organisasi dan praktisi yang terlibat dalam tindakan kemanusiaan dan diplomasi kemanusiaan.

Apa harapan ICRC dari kerjasama dengan ASEAN?

ICRC menganggap ASEAN bukan hanya sebagai kekuatan regional yang besar, namun juga merupakan actor global yang penting, yang dapat menambah bobot dalam promosi nilai-nilai kemanusiaan, mengurangi tantangan kemanusiaan dan perlindungan di ASEAN dan wilayah lainnya, serta memperkenalkan budaya mencegah.

Dari sudut pandang ICRC, ASEAN dapat memanfaatkan pengaruhnya yang kuat untuk memastikan promosi dan penghargaan atas norma kemanusiaan di antara negara-negara.

Dunia akan menjadi tempat yang lebih baik karena ASEAN akan semakin menggunakan pengaruhnya untuk memastikan promosi dan penghargaan atas norma kemanusiaan di antara negara-negara, termasuk hukum humaniter internasional di kawasan dan di tempat-tempat lain di mana orang-orang menderita akibat perang yang mengerikan.

Bagaimana Anda menjelaskan hubungan ICRC dengan ASEAN, yang walau merupakan kekuatan ekonomi dan strategis, menghadapi kebutuhan kemanusiaan karena krisis, seperti yang terjadi di Rakhine?

Interaksi antara ASEAN dan ICRC telah berkembang dalam beberapa tahun ini, menyentuh berbagai isu kemanusiaan yang menjadi perhatian bersama dalam artian yang konstruktif. Simposium tahun 2017 ini menjadi sebuah peristiwa penting karena menjadi proyek bersama pertama ICRC dan ASEAN. Selain itu, kegiatan ini berlangsung bersamaan dengan peringatan 50 tahun ASEAN, sebuah tonggak yang mewakili setengah abad kesuksesannya dalam menjaga perdamaian dan stabilitas di kawasan. Kegiatan ini pula dapat dikatakan berlangsung di saat yang tepat, mengingat ini memberikan platform bagi ASEAN untuk membahas masalah kemanusiaan dan kemungkinan campur tangan dalam konteks seperti di Rakhine, yang membangun pengalamannya di Marawi, Filipina Selatan. ICRC yakin hubungan ini akan berkembangm dan berharap dapat meningkatkan dialog bilateral dan mengonsolidasikan kemitraan dengan negara-negara anggota ASEAN.

Menurut Anda apa yang menarik dari acara ini?

Secara keseluruhan sangat menginspirasi dengan merasakan semangat dari keluarga ASEAN dan tekad untuk bergerak maju sambil menghormati asas konsensus dan tanpa campur tangan. ICRC senang dapat menyaksikan peluncuran secara resmi AIPR serta diumumkannya Duta Besar Rezlan Jenie dari Indonesia sebagai direktur eksekutif pertamanya. Lembaga baru ini tentu saja akan memainkan peran kunci dalam menghadapi tantangan kemanusiaan dan mempromosikan budaya pencegahan di kawasan untuk mencapai rekonsiliasi saat dibutuhkan, dan menjaga perdamaian.

Senator Richard Gordon, ketua Palang Merah Filipina, juga memberi kami pesan inspiratif mengenai pentingnya mematuhi prinsip kemanusiaan dalam intervensi kemanusiaan apapun. Senator Gordon juga berbicara tentang peran kunci yang dimainkan oleh Gerakan Internasional Palang Merah dan Bulan Sabit Merah selama krisis yang mendesak dan kompleks, dan secara keseluruhan, mengenai pentingnya diplomasi kemanusiaan dengan instansi terkait, termasuk dengan berbagai komponen pemerintah dan jaringan kemanusiaan untuk mengatasi penyebab krisis kemanusiaan secara tepat waktu.

Apa hasil utama dari acara ini dan bagaimana ini akan bermanfaat untuk kerja ICRC di wilayah ini?

Praktik terbaik dan rekomendasi yang diperoleh selama acara ini akan dijadikan referensi untuk refleksi yang lebih lanjut dan bertindak bersama untuk mengatasi tantangan kemanusiaan dan perlindungan di dalam dan luar wilayah, dan untuk lebih membangun budaya mencegah yang dapat memberi inspirasi bagi kawasan lainnya.

Acara ini menjadi tonggak penting yang menunjukkan adanya peluang-peluang baru untuk membahas isu-isu penting namun masih sensitif terkait kebutuhan perlindungan di ASEAN. Dialog kemanusiaan yang positif di tingkat kawasan akan melengkapi dialog bilateral ICRC di 80 negara di seluruh dunia.

Di luar seringnya berita kebencian, kekerasan dan konflik di dunia saat ini, simposium ini mengumpulkan rohaniwan, akademisi, pekerja kemanusiaan, para penegak hukum, pejabat ASEAN, diplomat, akademisi, penyedia layanan kesehatan, pendidik dan kelompok masyarakat sipil lainnya, yang semuanya bertekad untuk tidak terbebani oleh kompleks dan brutalnya konflik dan perang, namun untuk mengangkat martabat manusia dan penyediaan bantuan kemanusiaan untuk setiap kehidupan manusia, terutama kelompok yang rentan.

Juga menjadi harapan kami, bahwa para pemimpin ASEAN dan pembuat kebijakan yang hadir dalam kegiatan ini dapat membangun diskusi dengan otoritas dan pemangku kepentingan masing-masing demi meningkatkan bantuan dan perlindungan di kawasan ASEAN dan sekitarnya.