Sebanyak 300 lebih relawan dari seluruh Indonesia belajar tentang cara aman menangani jenazah korban COVID-19 sembari menghormati praktik keagamaan tradisional dalam lokakarya daring yang diadakan 23 dan 24 September 2020. Lokakarya yang diselenggarakan Komite Internasional Palang Merah (ICRC) bersama Humanitarian Forum Indonesia (HFI) dan Human Initiative (HI) ini membantu menangkal stigma dan kebingungan yang sering menyertai respons terhadap masa pandemi.

Hari 1: prosedur pemulasaran jenazah dan isu stigma selama pandemi

Benoît Chavaz, Wakil Kepala Delegasi ICRC untuk Indonesia dan Timor-Leste, membuka acara tersebut dengan memaparkan respons ICRC terhadap COVID-19 di Indonesia yang meliputi dukungan untuk sistem kesehatan di sejumlah tempat dengan kerentanan yang meningkat, seperti di penjara dan pusat-pusat penahanan; serta melakukan pelatihan manajemen jenazah. ICRC juga telah mendukung sejumlah pesantren dalam bentuk donasi barang-barang kebersihan dan alat pelindung diri. M.Ali Yusuf, wakil dari HFI, menekankan pentingnya manajemen jenazah yang aman bagi pasien COVID-19 karena kasus ini terus meningkat di seluruh Indonesia.

Pada panel pertama, Dr. Evi Untoro dari Asosiasi Ilmu Forensik Indonesia, menguraikan prosedur aman untuk menangani jasad korban COVID-19 dengan menekankan pentingnya prosedur ketat saat mengenakan dan terutama saat melepas alat pelindung diri (APD) demi mencegah infeksi. Beliau menjelaskan bahwa di Indonesia telah banyak kasus keluarga yang secara paksa mengambil jasad kerabat mereka dari rumah sakit agar mereka dapat melakukan upacara pemakaman tradisional. Menurut ketentuan hukum, petugas medis berkewajiban untuk melaporkan insiden seperti itu kepada polisi.

Ustaz Wawan Gunawan Abdul Wahid dari organisasi massa Islam Muhammadiyah berbicara tentang stigmatisasi dan kesalahpahaman seputar COVID-19 di komunitas Islam. “Ada yang mengatakan bahwa mereka yang melewatkan shalat Jum’at tiga kali tergolong kaum kafir,” kata Ustaz Wawan, “ini tidak benar sama sekali. Kita shalat. Kita mengadakan shalat Jumat dengan shalat dzuhur dan melakukannya di rumah. Mengapa? Karena ini situasi darurat. Kita semua berada di zona merah [COVID-19]. Virus ini ada di mana-mana termasuk kuil, gereja dan masjid.”

“ini tidak benar sama sekali. Kita shalat. Kita mengadakan shalat Jumat dengan shalat dzuhur dan melakukannya di rumah. Mengapa? Karena ini situasi darurat. Kita semua berada di zona merah [COVID-19]. Virus ini ada di mana-mana termasuk kuil, gereja dan masjid.” — Ustaz Wawan Gunawan Abdul Wahid 

Ia menjelaskan bahwa pimpinan puncak Muhammadiyah telah mengeluarkan fatwa yang menyatakan bahwa kewajiban shalat di masjid dihentikan selama pandemi dan masyarakat hendaknya shalat di rumah.

Js. Liem Liliany Lontoh dari Majelis Tinggi Agama Konghucu Indonesia (MATAKIN)  menegaskan pentingnya mencermati protokol kesehatan. Dia menjelaskan bahwa dalam tradisi Konfusius, “Jika seseorang meninggal karena COVID-19 di rumah sakit, kita berdoa kepada Tuhan dengan menghadap ke langit terbuka dan membungkuk dengan kedua tangan di dada kita. Kita menggunakan dupa jika tersedia, tetapi tidak wajib. Kita menyebutkan nama lengkap pasien, tanggal lahirnya, dan memohon kepada Tuhan untuk menerimanya. Tidak perlu berdiri di dekat jenazah. Dalam waktu empat jam, pasien harus dikubur.” Beliau menambahkan bahwa selama pandemi semua ritual dapat dibatalkan jika protokol kesehatan mengharuskan.

Ahmad Arif, Ketua Kelompok Jurnalis Indonesia untuk Bencana & Krisis, mengatakan bahwa cara terbaik untuk menghindari stigmatisasi pasien adalah dengan mengomunikasikan risiko COVID-19 secara memadai. Ahmad berpendapat bahwa yang perlu dilawan tidak hanya pandemi tetapi juga ‘infodemik’ informasi palsu. Ia mengatakan Indonesia merupakan salah satu dari lima negara yang memiliki tingkat misinformasi tertinggi. Dia berpendapat bahwa tokoh agama dan masyarakat dapat berperan penting dalam melawan informasi palsu karena orang menaruh kepercayaan kepada mereka.

Hari 2: persoalan koordinasi dan pelajaran dari kasus-kasus pemulasaran

Hari kedua lokakarya yang dipimpin Direktur HFI, Surya Rahman, berfokus pada peningkatan koordinasi antar pemangku kepentingan dan penindak pertama COVID-19. Komjen Agus Andrianto mengatakan, Polri telah diinstruksikan untuk mengedukasi masyarakat tentang pemakaman pasien COVID-19 agar masyarakat tidak menolak aturan tersebut. Mereka yang melanggar protokol kesehatan berisiko dihukum.

Dr Reza Ramdhoni dari Badan Amil Zakat Nasional (BAZNAS) menggambarkan tantangan yang ia dan timnya hadapi saat membantu pemerintah dalam merawat pasien di rumah sakit sementara di Jakarta yang dibentuk di blok apartemen Wisma Atlet. “Bayangkan, sebuah apartemen yang tidak dirancang menjadi rumah sakit harus memenuhi standar rumah sakit. Ukuran lift, pintu, kamar, tangga, lantai dll jauh di bawah standar rumah sakit. Suatu hari, saya dipanggil untuk menangani jasad di lantai 9. Dengan APD lengkap, kami berempat naik ke sana. Kita harus tahu bahwa merupakan keharusan untuk tidak memanipulasi jasad terlalu banyak demi mencegah kebocoran dari lubang-lubang tubuh karena itu menular. Inilah alasan mengapa kita membungkusnya berlapis-lapis. Jadi kami mengafani jenazah karena kami tahu almarhum seorang Muslim, kemudian membungkusnya dengan dua lapis plastik yang kuat. Begitu jenazah sudah aman, kami memasukkannya ke dalam kantong jenazah dan menyemprotnya dengan disinfektan. Kemudian kami memasukkannya ke dalam peti mati, menyegel dan mendesinfeksi lagi.”

Istianasari, Kepala Sub-Divisi Kesehatan Darurat Palang Merah Indonesia (PMI), menjelaskan pelajaran yang dipetik dari pelaksanaan ‘Manajemen Jenazah’ (MoTD) dalam situasi darurat seperti kecelakaan pesawat, bencana alam dan ledakan bom di mana PMI berfokus membantu keluarga untuk menemukan orang yang mereka cintai melalui program Pemulihan Hubungan Keluarga (RFL). Selama pandemi, PMI harus mengembangkan protokol kesehatan baru bagi para relawan dan menyebarluaskannya melalui webinar. Istianasari menekankan pentingnya membangun koordinasi yang baik dengan semua pihak yang bekerja di MoTD, termasuk Kementerian Kesehatan, rumah sakit rujukan COVID-19, petugas pemakaman dan kremasi, polisi juga militer, serta tokoh masyarakat.

Istianasari menekankan pentingnya membangun koordinasi yang baik dengan semua pihak yang bekerja di MoTD, termasuk Kementerian Kesehatan, rumah sakit rujukan COVID-19, petugas pemakaman dan kremasi, polisi juga militer, serta tokoh masyarakat.

Selama webinar peserta dan pembicara dapat berinteraksi dengan semua panelis melalui fitur obrolan, banyak yang meminta saran spesifik tentang bagaimana meningkatkan respons mereka terhadap COVID-19.