Selama 100 tahun Komite Internasional Palang Merah (ICRC) melakukan kunjungan kepada orang-orang yang ditahan karena alasan-alasan yang terkait dengan konflik bersenjata internasional, konflik bersenjata dalam negeri, atau situasi-situasi kekerasan lainnya di seluruh dunia.Berdasarkan pengalaman panjangnya dalam melaksanakan kegiatan tersebut, ICRC selama lima dekade terakhir ini telah mengembangkan secara progresif sebuah kerjasama yang erat dengan pemerintah Indonesia dalam rangka mendukung kegiatan pemerintah untuk memastikan agar kondisi penahanan secara psikologis dan materi sesuai dengan norma-norma dan standar-standar nasional maupun internasional.

Phnom Penh, Kamboja, 1993. Kunjungan oleh staf ICRC ke penjara T3. Setelah ICRC kembali ke Kamboja setelah jatuhnya Khmer Merah pada tahun 1979, staf ICRC diberi akses ke para tahanan oleh pemerintah. Pada bulan Maret tahun 1993, ICRC diberi izin untuk mengunjungi pusat-pusat penahanan di bawah yurisdiksi kementerian keamanan tanpa pemberitahuan terlebih dahulu. © ICRC / S. Corrieras / kh-d-00057-06

Phnom Penh, Kamboja, 1993. Kunjungan oleh staf ICRC ke penjara T3. Setelah ICRC kembali ke Kamboja setelah jatuhnya Khmer Merah pada tahun 1979, staf ICRC diberi akses ke para tahanan oleh pemerintah. Pada bulan Maret tahun 1993, ICRC diberi izin untuk mengunjungi pusat-pusat penahanan di bawah yurisdiksi kementerian keamanan tanpa pemberitahuan terlebih dahulu. © ICRC / S. Corrieras / kh-d-00057-06

ICRC telah bekerja di Indonesia sejak dasawarsa 1940-an. Setelah proklamasi kemerdekaan Republik Indonesia, ICRC secara progresif mengembangkan kerjasama erat dengan Pemerintah Indonesia. Kerja sama ini dimulai sejak saat terjadinya konflik di Maluku Selatan (1950-1952) ketika ICRC mengunjungi orang-orang yang ditahan oleh Angkatan Bersenjata Republik Indonesia (ABRI). Demikian pula, ICRC diberi ijin untuk mengunjungi anggota G30S/PKI yang ditahan berkaitan dengan percobaan kudeta pada tahun 1965.

(ki-ka) dr. Esterina, dr. Edi Suranta (Dokter Rutan), P. Saragih, dan Wirakhman Somantri berbincang serius di tengah proses pengobatan skabies massal di Rutan Kelas II B Labuhan Deli, Medan, Sumatera Utara, yang dilaksanakan pada 2011 lalu.  © ICRC

(ki-ka) dr. Esterina, dr. Edi Suranta (Dokter Rutan), P. Saragih, dan Wirakhman Somantri berbincang serius di tengah proses pengobatan skabies massal di Rutan Kelas II B Labuhan Deli, Medan, Sumatera Utara, yang dilaksanakan pada 2011 lalu.
© ICRC

Pada tahun 1977, ICRC memperoleh ijin tertulis resmi dari pemerintah Republik Indonesia untuk mengunjungi semua tahanan/narapidana politik di Indonesia. Dalam dasawarsa 1980-an, ICRC diperbolehkan mengunjungi para aktivis Muslim yang ditahan di Indonesia. Setelah itu, ICRC diperbolehkan mengunjungi orang-orang yang ditahan akibat kekerasan di seluruh Indonesia.

Orang-orang yang dikunjungi tersebut ditahan di tempat-tempat penahanan yang ada di bawah tanggung jawab TNI, Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia dan Polri.

Pada bulan Februari 2009, Kementerian Luar Negeri Indonesia meminta ICRC untuk menangguhkan kegiatan terkait tahanan di Indonesia hingga negosiasi perjanjian yang baru.

Tujuan ICRC mengunjungi tahanan ialah:

  • Untuk membantu memperbaiki kondisi tempat penahanan baik secara psikologis maupun materi serta perlakuan terhadap para tahanan, jika hal itu dianggap perlu.
  • Untuk memberi pihak yang berwenang sebuah penilaian yang bersifat mandiri dan rahasia (konfidensial) tentang situasi yang ada di tempat penahanan yang berbeda di bawah tanggung jawab mereka.

Berita terkait lainnya: International Review of the Red Cross – Perlindungan Tahanan: Kegiatan ICRC di Tempat Penahanan