Ribuan keluarga Palestina yang tinggal di Tepi Barat mempunyai anngota keluarga yang ditahan di berbagai penjara di Israel. Sulit untuk mempertahankan kontak langsung antara tahanan dan keluarga mereka, yang pada akhirnya menimbulkan penderitaan dan masalah dalam keluarga mereka. Pemerintah Israel menangguhkan kunjungan keluarga selama aksi mogok makan para tahanan Palestina antara Maret dan Mei 2012, menyebabkan kegelisahan dan keprihatinan baik bagi tahanan maupun keluarga keluarga.
Dalam 45 tahun terakhir ini, Komite Internasional Palang Merah (ICRC) sudah membantu keluarga tahanan Palestina mengunjungi anggota keluarga mereka yang berada di penjara-penjara Israel. ICRC mengurus izin dan menyediakan transportasi pulang-pergi ke penjara-penjara tersebut. Staf ICRC juga menyampaikan kabar secara lisan serta surat berupa Berita Palang Merah (RCM) untuk membantu keluarga tetap saling berhubungan.
Nazmieh
“Suami saya, Wafi, telah dikenai tahanan administratif selama beberapa tahun, tapi kami tidak pernah diberi tahu alasannya. Andai saja mereka membawanya ke pengadilan, sehingga kami jadi tahu alasan penahanannya,” kata Nazmieh.
Sejak suaminya ditahan, Nazmieh menjadi ibu sekaligus ayah bagi ke-enam anaknya. Satu-satunya anak lelaki Nazmieh, Oussama yang baru berusia 21 tahun, belakangan ini memikul tanggung jawab yang lebih banyak di rumah.
Kunjungan ke Wafi
Hanya Nazmieh dan dua dari lima orang anak perempuannya yang mendapat izin mengunjungi Wafi di penjara. Pada pagi (24/05/12) pukul 7 pagi, mereka naik bis bersama 150 warga Palestina lainnya untuk melakukan perjalanan mengunjungi keluarga mereka di penjara-penjara Israel.
Setelah melalui pemeriksaan keamanan yang panjang dan beberapa jam perjalanan, mereka akhirnya bisa melihat Wafi dibalik pembatas kaca serta berbicara dengannya melalui telepon. Kunjungan itu berlangsung 45 menit. “Setiap kali anak perempuan saya melihat ayah mereka di penjara, mereka menangis. Setiap kunjungan adalah momen yang sangat sulit secara psikis,” keluh Nazmieh.
Pos pemeriksaan Jalameh
Seorang staf ICRC, Younis Daragmeh, membantu Nazmieh, Bisan (16) dan Ansam (10) di pos pemeriksaan Jalameh antara Tepi Barat dan Israel. Setiap bulan, ICRC membantu 9.500 orang untuk mengunjungi keluarga mereka di penjara-penjara Israel.
Banyak anggota keluarga yang dilarang berkunjung dengan alasan keamanan. Laki-laki berusia antara 16-35 tahun hanya diperbolehkan berkunjung sekali dalam enam bulan atau sekali setahun.
Kembali dari kunjungan
Nazmieh baru saja kembali dari mengunjungi suaminya. Sambil tersenyum, ia mengatakan bahwa suaminya baik-baik saja dan sangat bahagia melihat dirinya serta putri-putrinya.
Selama kunjungan singkat tersebut, Nazmieh memberitahu suaminya keadaan anak-anak mereka yang lain, yang tidak mendapatkan izin untuk berkunjung. Nazmieh memiliki tiga anak perempuan dalam usia siap menikah dan dia tidak tahu apa yang harus dilakukan terkait hal ini. “Saya butuh suami saya untuk tinggal bersama kami dan untuk membuat keputusan.”
Yafa dan ibunya, Abir
Ayah dari Yafa (7) baru-baru ini ikut aksi mogok makan selama hampir satu bulan, bersama dengan 1.600 tahanan Palestina lainnya. Ibunya, Abir, dan salah satu saudara perempuannya dilarang mengunjungi dia.
Kehidupan keluarga menjadi tidak normal lagi selama aksi mogok makan. “Saya merokok setengah bungkus rokok lebih banyak dari biasanya dalam sehari, saya menonton berita sepanjang malam dan tidak bisa makan,” kata Abir.
Terakhir kali Yafa bertemu ayahnya, pada bulan Maret 2012 lalu, Yafa bisa memeluk ayahnya, yang biasanya tidak diperbolehkan. Selama aksi mogok makan berlangsung, ICRC mengunjungi ayahnya di penjara dan senantiasa menginformasikan keadaannya kepada keluarganya.
Misme, Asma dan Hasha
Misme, Asma (tengah) dan Hasha berkumpul di Jenin, Tepi Barat untuk merayakan akhir dari aksi mogok makan. Sepuluh tahun lalu, suami Asma dijatuhi hukuman penjara seumur hidup. Sejak saat itu, dia tidak diizinkan bertemu suaminya. “Saya berharap dengan berakhirnya aksi mogok makan, dia dibebaskan dari sel isolasi, sudah cukup.”
Bagi Asma, cerita penahanan adalah menunya sehari-hari; hampir semua anggota keluarganya pernah ditahan pada periode berbeda-beda. Pada tahun 2002, Asma, suami dan putra tertua mereka dipenjara di saat bersamaan. “Semua anak kami yang lain masih anak-anak pada saat itu, dan yang termuda berusia tujuh tahun. Itu masa yang sangat sulit. Saya selalu memikirkan mereka setiap saat. “
Huda dan cucu perempuannya, Iman
Kamp Balata ??di kota Nablus adalah kamp pengungsi terbesar di Tepi Barat. Huda memegang foto anaknya yang ditahan, ayah dari Iman (8). Mereka baru saja kembali dari mengunjunginya dari tahanan.
Perjalanan pulang pergi dan kunjungannya sendiri menghabiskan waktu sekitar 12 jam. “Setiap habis berkunjung, saya sangat lelah sehingga harus beristirahat di tempat tidur selama tiga atau empat hari. Ini juga sangat sulit bagi Iman, karena dia bermasalah pada jantungnya. Dia pernah pingsan di pos pemeriksaan,” kata Huda.
Huda memiliki sembilan anak, yang semuanya ditahan pada saat yang sama selama intifada pertama. “Saya putus asa. Saya terlalu banyak menangis sampai pandangan saya menjadi tidak jelas. Saya habiskan waktu saya hanya untuk mengunjungi anak-anak saya di penjara yang berbeda-beda. “
Sanaa
Sejak tahun 1988, suami Sanaa tinggal di rumah paling lama sembilan bulan. Dia menghabiskan waktunya di tahanan. Sanaa tidak sabar menunggu kabar apakah suaminya akan dibebaskan atau penahanan administratifnya akan diperbaharui. “Saya selalu hidup dalam ketakutan dan harapan. Saya harus siap secara mental jika dia tidak pulang ke rumah.” Ketidakpastian itu menghadirkan bayangan ketakutan dan stres terhadap seluruh keluarganya.
Sanaa mengatasinya dengan berbicara kepada orang-orang yang berada dalam situasi yang sama dengannya. “Menurut pepatah Arab, jika kamu melihat masalah orang lain, maka kamu merasa bahwa masalahmu kecil dibandingkan masalah orang lain.”