Jakarta – Konferensi tingkat regional yang membahas tren perang kontemporer dan tantangan atas teknologi baru dalam peperangan diadakan di Jakarta pada 5 September 2018.
Diadakan atas kerjasama antara Kementerian Luar Negeri Indonesia dengan Komite Internasional Palang Merah (ICRC), konferensi regional dengan judul “Contemporary Warfare: Global Trends and Humanitarian Challenges” mendiskusikan tentang bagaimana meminimalisasi korban dan mencegah kemungkinan krisis kemanusiaan dalam ranah peperangan modern.
Perkembangan senjata dan teknologi yang digunakan dalam konflik yang merambah setting perkotaan dengan populasi penduduk sipil yang cukup padat. Konferensi ini membicarakan sistem senjata otonom yang mematikan dan juga ancaman perang siber, dengan menampilkan presentasi dan pembicara ahli Indonesia, kawasan ASEAN dan sekitarnya.
Mengingat semakin besarnya peran ASEAN di kancah global, sebagaimana tercermin dengan keanggotaan non-permanen Indonesia di Dewan Keamanan PBB (UNSC) untuk dua tahun dimulai dari Januari 2019, tepat saatnya untuk membentuk forum bagi para ahli militer dan sipil untuk mendiskusikan potensi dan konsekuensi kemanusiaan yang terkait peperangan kontemporer, juga dampaknya terhadap ketahanan masyarakat dan negara di Asia.
Pidato kunci disampaikan oleh Menteri Luar Negeri Indonesia Retno Marsudi, konferensi ini mempertemukan kurang lebih 150 peserta, termasuk perwakilan negara-negara ASEAN, mitra dialog ASEAN, misi asing untuk ASEAN, kedutaan-kedutaan besar di Indonesia serta pemain kunci lainnya, termasuk NATO, PBB, lembaga think-tank regional juga akademisi.
Menteri Retno dalam pidatonya menyampaikan bahwa perubahan sifat konflik menyebabkan pekerjaan kemanusiaan jadi semakin rumit. ‘Negara wajib mematuhi hukum internasional dalam menggunakan teknologi informasi dan komunikasi. Kerja sama untuk memerangi dan memberantas serangan siber oleh aktor non-negara seharusnya menjadi standar. Penggunaan senjata non-otonomi harus mematuhi hukum humaniter internasional beserta prinsip-prinsipnya, khususnya terkait perlindungan penduduk sipil saat situatsi konflik.’
Alexandre Faite, Kepala Delegasi Regional ICRC untuk Indonesia dan Timor Leste menyatakan, ‘teknologi baru dan perubahan karakteristik konflik menciptakan tantangan-tantangan serius untuk melindungi penduduk sipil, meminimalisasi korban dan menjunjung hukum humaniter internasional.’
‘Apabila infrastruktur sipil seperti pusat pengolahan air bersih, hancur karena senjata konvensional atau terganggu akibat perang siber, hasil akhirnya akan tetap sama, yaitu tidak adanya suplai air bersih untuk masyarakat sipil,’ tambah Alexandre. ‘Indonesia tengah bersiap untuk bertugas sebagai anggota tidak tetap Dewan Keamanan PBB. Kami berharap dapat berkolaborasi dengan Indonesia, juga dengan negara-negara lain untuk mendiskusikan tantangan-tantangan baru ini, juga untuk mempertimbangkan aturan-aturan mana yang dapat atau harus diterapkan ketika mereka dikerahkan ke dalam arena perang modern.’