Wabah COVID-19 yang masih menyebar dalam jumlah tinggi di Indonesia telah mendorong Keluarga Buddhayana Indonesia (KBI) untuk menggandeng ICRC guna menanggapi berbagai pertanyaan dan kegelisahan yang menghinggapi komunitas Buddhis di Indonesia tentang virus ini.

Kerjasama digelar dalam bentuk Talkshow Hari Rabu (THR) pada 3 Juni 2020 dalam format webinar dengan tema ‘Agama, Ketenangan Pikiran dan Penanganan Jenazah.’ Webinar disambut dengan antusias oleh setidaknya 300 orang penyimak secara live melalui kanal Zoom dan sekitar 120 orang di kanal Youtube Buddhayana TV. Dalam tempo 24 jam, rekaman webinar di Youtube juga disaksikan sekitar 1000 orang.

Webinar ini menampilkan tiga pembicara yang ahli dalam bidangnya. Bhante Nyanasila Thera mengulas persoalan wabah dari segi ajaran Agama Buddha. Ihwal ketenangan pikiran dibahas oleh Dr. Dr. Adi W Gunawan, pakar ternama mind technology di Indonesia. Sementara soal penanganan Jenazah dibahas oleh Eva Bruenisholz, pakar forensik dari Delegasi Regional ICRC untuk Indonesia dan Timor Leste.

Dengan tenang dan mengalir, Bhante Nyanasila Thera yang juga Sekretaris Jendral Sangha Agung Indonesia, menguraikan lima langkah Buddhis dalam menghadapi wabah COVID-19. “Pertama, pentingnya mengakui bahwa virus itu ada. Dari sini, orang baru bisa melangkah ke tahap kedua, meditasi untuk melatih batin untuk tetap menyala sehingga mampu meningkatkan kehati-hatian. Ketiga, mengembangkan belas kasih sehingga lebih mampu mengikut protokol kesehatan dan menjaga lingkungan. Keempat, perlunya memahami keterhubungan satu sama lain. Kita bisa saling menularkan tetapi kita juga bisa saling menahan laju penyebaran virus. Kelima, lewat pandemi ini, kita mendapat kesempatan untuk merefleksi diri supaya tidak ada gap antara harapan dan realita guna menanggulangi stres.”

Pendekatan Buddhis terhadap COVID-19 ini diperkuat oleh paparan ilmiah dari kacamata forensik oleh Eva Brueniholz. Dia menguraikan secara gamblang pentingnya pemahaman tentang penanganan jenazah saat menghadapi kejadian-kejadian luarbiasa seperti bencana alam dan pandemi. “Dalam konteks COVID-19, penanganan jenazah harus tetap ditujukan untuk melindungi dan menghormati martabat jenazah dan keluarga mereka,” tegas Eva. “Untuk itu jenazah harus diidentifikasi sedapat mungkin sebelum dimakamkan. Seluruh anggota keluarga memiliki hak untuk mengetahui nasib keluarga yang hilang termasuk keberadaan mereka, atau bila meninggal, keadaan dan penyebab kematian mereka,” imbuhnya.

Sementara itu, Dr. Dr. Adi W Gunawan, pendiri Adi W Gunawan Institute of Mind Technology di Surabaya, menegaskan pentingnya ketenangan pikiran dalam menghadapi situasi wabah. “Sebenarnya pikiran kita ini seperti sebuah gelas yang berisi air putih, bersih, jernih. Yang membuat kacau dan keruh adalah emosi yang mempengaruhi pikiran kita. Ini yang kurang dipahmi banyak orang. Apa yang mendominasi pikiran kita? Kalau emosi negatif seperti cemas, takut, kekhawatiran yang banyak masuk ke pikiran kita, ini akan semakin mempengaruhi pikiran kita. Ibaratnya pikiran kita seperti air bersih yang dimasuki dan diaduk oleh banyak sekali kotoran-kotoran. Akibatnya pikiran kita menjadi kacau.”

Kehadiran tiga pakar ini tak disia-siakan para penyimak webinar yang bertahan selama lebih dari dua jam. Berbagai pertanyaan diajukan hingga moderator, Dr. Heru Suherman Lim, harus membatasi diskusi karena keterbatasan waktu.

Kerjasama ICRC dengan komunitas Buddhis di Indonesia dalam berbagai bentuk seperti webinar ini bukanlah pertama kalinya terjadi. Selama enam tahun terakhir, setidaknya ICRC telah menjalin kontak dan kolaborasi dengan sejumlah organisasi Buddhis organisasi Buddhis, seperti Niciren Syosyu, Tzu Chi, dan KBI. Keluarga Buddhayana Indonesia adalah salah satu organisasi Buddhis yang merangkul tiga mazhab besar Buddhis, yakni Theravada, Mahayana dan Vajrayana. Kerjasama akan berlanjut dengan kegiatan lain yang akan diadakan bersama STIAB Smaratungga, Boyolali, pada 28 Juni 2020 untuk mengusung tema ‘New Normal, New Life.’