Suasana pagebluk tidak banyak mengurangi aktivitas di kota Banda Aceh. Kedai kopi tetap ramai dikunjungi orang, terutama pada malam hari. Sejurus setelah menjejakkan kaki di Banda, kami pun tidak melewatkan kesempatan untuk menikmati racikan berkelas campuran kopi dan susu kental manis dalam komposisi 3 banding 1, sanger. Tidak jelas asal usul nama kopi sanger tapi yang pasti proses pembuatannya berbeda dengan kopi susu lainnya; konon kopi yang digunakan harus disaring dengan gaya khas barista saring, bukan menggunakan mesin kopi, apalagi espresso.

Saya beserta dua kolega dari Komite Palang Merah Internasional (ICRC), Novriantoni Kaharudin dan Dominic Earnshaw, berkunjung ke Banda Aceh pekan lalu dalam rangka kegiatan kerjasama dengan Fakultas Syari’ah dan Hukum Universitas Islam Negeri (UIN) Ar-Raniry terkait diseminasi Hukum Humaniter Internasional (HHI). Di hari pertama, tim ICRC mengisi kuliah umum di hadapan sekitar 60 mahasiswa dari berbagai prodi, terutama di Fakultas Syariah dan Hukum. Acara dibuka oleh Dekan Fakultas Syariah dan Hukum UIN, Prof. Muhammad Sidiq P.hD. Dengan tetap menerapkan protokol kesehatan secara ketat, antusiasme peserta pun tampak sangat tinggi untuk belajar tentang seluk beluk HHI sekaligus diskursus hukum Islam terkait konflik. Para peserta, terutama mahasiswi, melontarkan berbagai pertanyaan yang dijawab dengan tangkas oleh oleh pemateri.

Selepas makan siang, kami berdiskusi dengan 7 dosen dari Fakultas Syariah dan Hukum terkait integrasi atau insersi HHI dan hukum Islam terkait ke dalam silabus pengajaran di UIN ar-Raniry. Para dosen yang hadir memaparkan berbagai kendala dan tantangan dalam mengajar materi HHI dan menawarkan tim ICRC untuk masuk ke dalam tim pengajar mata kuliah dalam format co-teaching. Kesempatan ini disambut baik oleh tim ICRC karena membuka kesempatan bagi mahasiswa untuk mengenal lebih jauh tentang HHI di era kontemporer dan juga kiprah dan pengalaman ICRC di lapangan.

Di hari kedua, tim ICRC mengikuti Focus Group Discussion untuk menjajaki kemungkinan kontribusi ulama dan pemuka masyarakat di kawasan Nusantara yang mencakup wilayah Indonesia, Malaysia, Thailand bagian Selatan, Brunei Darussalam dan juga Filipina terkait wacana tentang HHI dan etika berkenaan dengan konflik bersenjata. Pengalaman dan sejarah panjang Aceh sejak era pra kemerdakaan sangat penting untuk menambah pemahaman tentang konteks lokal dan rujukan internasional terkait HHI. Tim ICRC senang mendengarkan berbagai ulasan dan masukan dari para peserta dari kalangan ulama, akademisi, dan beberapa pejabat pemerintah daerah.

Selepas ashar, tim ICRC bertandang ke salah satu Dayah tertua di Aceh, yaitu Dayah Darul Ihsan Abu Hasan Krueng Kalee yang telah berdiri sejak tahun 1910. Tgk. Muhammad Faisal selaku Pengasuh Dayah menerima tim ICRC dengan hangat di bale’ besar (sebuah ruangan sejenis rumah panggung yang terbuat dari kayu) yang dulu menjadi pusat pengajaran dan kegiatan belajar para santri di dayah. Tgk. Faisal bercerita tentang bagaimana Dayah telah menjadi bagian yang tidak terpisahkan pada perjuangan di masa kolonial dan sesudahnya. Sesaat menjelang maghrib, tim ICRC pun diajak berkeliling komplek Dayah dan berkesempatan untuk bercengkerama dengan beberapa santri. Pak Dominic yang berasal dari Inggris menjadi bintang bagi para santri yang antusias untuk mengeluarkan unek-unek mereka dalam Bahasa Inggris.

Kunjungan di Aceh kami tutup dengan segelas kopi lagi di Markas Palang Merah Indonesia (PMI) Provinsi Aceh saat berdiskusi ringan dengan Bapak Murdani Yusuf selaku Ketua PMI Provinsi Aceh dan Surya Candra Nasution sebagai Kepala Markas. Satu aspek penting yang dibahas adalah bagaimana memperkuat pemahaman keluarga besar PMI di Aceh tentang nilai-nilai yang terkandung dalam prinsip dasar gerakan Palang Merah yang juga ekuivalensinya dengan nilai-nilai mulia agama Islam.

Aceh selalu memberikan pengalaman mengesankan setiap kali kami berkunjung dan selalu memberikan banyak cerita dan kisah-kisah kemanusiaan yang patut dipelajari dan direnungkan.