Para pembicara urutan dari kiri ke kanan: DR. Kusnanto Anggoro, Ashwin Sasongko, Rina Rusman (moderator), Dr. Emily Crawford, Mr. Richard Desgagnè

Roundtable Discussion diselenggarakan oleh Komite Internasional Palang Merah (the International Committee of the Red Cross -ICRC) Jakarta, 17 November 2011 – RedTop Hotel.

Kemajuan signifikan dalam bidang teknologi informasi saat ini telah melahirkan sebuah dunia baru di mana segala sesuatu yang ada dapat saling terhubung satu sama lain tanpa mengenal batas-batas negara, geografis, bahkan waktu. Ruang dunia baru ini disebut sebagai “Dunia Maya” atau Cyber Space.

Dalam sambutannya, Prof. Dr. Ir. Budi Susilo Soepandji, DEA, menyebutkan bahwa kemajuan pesat di bidang teknologi informasi telah mampu mengubah wajah dunia sekaligus menggeser pengertian mengenai power suatu negara. Pada perkembangannya saat ini, kekuatan suatu negara tidak lagi dinilai semata-mata dari seberapa besar kekuatan militer atau ekonomi yang dimilikinya, tetapi juga dari nilai-nilai yang ditawarkannya terhadap dunia, termasuk penguasaan teknologi. Hampir semua aktivitas kehidupan manusia saat ini, baik yang bersifat personal hingga pemerintahan dapat dilakukan dan bertumpu pada penggunaan teknologi informasi.

Dalam konteks negara, kemajuan teknologi informasi tidak hanya dipandang sebagai suatu kemajuan yang berdampak positif tetapi juga diterjemahkan sebagai munculnya suatu bentuk ancaman baru terhadap keamanan. Penggunaan teknologi informasi saat ini dikembangkan pula sebagai suatu metode baru dalam peperangan (cyber warfare). Hampir semua hal yang ada dan terjadi di ruang nyata (real space) dapat pula ditransformasikan ke dalam cyber space. Jika di real space ada yang disebut dengan perang secara nyata (real war), maka dalam konteks cyber space ada pula yang disebut sebagai cyber war.

Pada tatanan perang yang terjadi di ruang nyata (real space), tata cara berperang diatur dan dibatasi oleh berbagai peraturan yang terkandung dalam Hukum Humaniter Internasional berdasarkan ketentuan Konvensi Jenewa Tahun 1949 dan protokol-protokol tambahannya. Hukum Humaniter Internasional (HHI) mengatur tata cara berperang dengan sedemikian rupa agar dalam prosesnya pihak-pihak yang terlibat dalam perang tetap menghormati prinsip-prinsip seperti prinsip pembedaan dan proporsionalitas. Penghormatan terhadap prinsip-prinsip ini bertujuan untuk menghindari terjadinya kerusakan dan penderitaan berlebihan dalam perang (unnecessary suffering).

Kegiatan diskusi yang diadakan oleh ICRC kali ini bertujuan untuk membahas lebih mendalam tentang apa sebenarnya yang dimaksud dengan cyber warfare yang saat ini sedang menjadi topik yang hangat untuk dibicarakan serta menjawab berbagai persoalan seputar topik tersebut. Persoalan utama yang diulas dalam diskusi ini adalah mengenai keterkaitan antara cyber warfare dengan HHI. Bagaimana cyber warfare dipahami dalam sudut pandang HHI? Apakah HHI juga mengatur tata cara berperang dalam cyber war? Bagaimana kemudian peraturan-peraturan yang ada di dalam HHI dapat diterapkan dalam konteks perang di cyber space (cyber war)? Beberapa pertanyaan seperti inilah yang dicoba untuk dikupas dan dipecahkan dalam diskusi ini.

Peserta diskusi Cyber Warfare yang terdiri dari Militer, polisi, media, NGOs, Gerakan Palang Merah dan Bulan Sabit Merah, ASEAN, akademisi di Indonesia, khususnya Jakarta, praktisi, Kementerian dan Mahasiswa.

Sesi Diskusi

Sesi diskusi diawali dengan penjelasan materi presentasi yang disampaikan oleh Bapak Ashwin Sasongko selaku Ditjen Aptika Kemenkominfo, mengenai Operational Reality of Cyber Warfare. Pada Kesempatan ini, Bapak Ashwin lebih banyak menjelaskan tentang cyber warfare dari segi teknis.

Bapak Ashwin menjelaskan tentang bagaimana sesuatu yang sulit untuk dilakukan di real space menjadi begitu mudah dilakukan di cyber space. hal ini dikarenakan ketika memasuki dunia ini, kebanyakan orang menjadi begitu permisif terhadap hal-hal yang dianggap tabu dalam real space. Beliau menyatakan bahwa yang perlu digarisbawahi adalah bagaimana kemudian kita dapat membuat sesuatu yang ada di real space menjadi nilai tambah yang baik untuk cyber space. Selain itu, beliau juga menyebutkan tentang perlu adanya common law yang mengatur hukum di cyber space untuk menghindari terjadinya pergesekan antar aktor (terutama negara), karena ketika memasuki dunia ini berbagai hal yang tadinya berbeda (negara) menjadi satu dalam ruang yang sama.

Presentasi kedua disampaikan oleh Bapak Kusnanto Anggoro, yang menjelaskan tentang aspek-aspek humaniter dari cyber warfare. Pada penjelasannya, Bapak Kusnanto menekankan mengenai pentingnya keberadaan muatan atau tujuan politik (political objectives) dari suatu fenomena yang terjadi di cyber space untuk mengkategorikannya ke dalam ancaman (cyber threat) dan serangan (cyber attack) yang mengancam keamanan nasional negara. Beliau setuju bahwa pembatasan yang diatur oleh Konvensi Jenewa mengenai tata cara berperang dapat pula diaplikasikan untuk cyber attack yang memiliki muatan politis dan dilakukan untuk menimbulkan kerusakan secara sengaja.

Pada presentasi berikutnya, Mr. Richard Desgagnè menjelaskan tentang cyber warfare dan kaintannya dengan HHI. Dalam konteks HHI, cyber warfare dipahami sebagai penggunaan teknologi dalam situasi perang bersenjata. Selain berpengaruh terhadap sistem komputer, tidak menutup kemungkinan bahwa penggunaan metode ini dapat pula berdampak terhadap kehidupan masyarakat sipil atau menimbulkan kerusakan-kerusakan terhadap berbagai hal yang pada HHI diatur sebagai objek-objek yang tidak boleh diserang dalam situasi konflik. Maka dari itulah, Richard Desgagnè menekankan bahwa perang, apapun bentuknya, harus tetap tunduk pada peraturan hukum serta menghormati prinsip-prinsip pembatasan dan pembedaan dalam HHI untuk membatasi kerusakan dan atau kesengsaraan yang tidak seharusnya. Kedua prinsip ini menjadi prinsip-prinsip yang harus digarisbawahi berkaitan dengan cyber warfare. Selain itu, dijelaskan pula bahwa HHI dapat juga digunakan sebagai pedoman dalam kaitannya dengan cyber warfare.

Presentasi terakhir disampaikan oleh Dr. Emily Crawford dari Sydney Law School, University of  Sydney. Pada penjelasannya beliau menekankan bahwa hal yang paling sulit dilakukan berkaitan dengan cyber attack atau cyber warfare adalah menentukan siapa aktor utama yang menjadi pelakunya. Mengambil contoh pada kasus Syria, ketika negara tersebut mengalami kerusakan akibat cyber attack diduga bahwa pelakunya adalah Israel. Meskipun demikian, hal tersebut masih sebatas dugaan saja sehingga sulit untuk menentukan siapa pihak yang harus bertanggung jawab dalam cyber attack tersebut.

Selain itu Dr. emily juga menjelaskan tentang tanggapan berbagai negara mengenai isu cyber warfare ini. Dijelaskan bahwa kaitannya dengan cyber warfare, berbagai negara menetapkan suatu kebijakan yang lebih menekankan pada cara-cara bagaimana mempertahankan atau membela negara dari serangan cyber daripada membuat suatu kebijakan tentang serangan balik dalam menghadiri cyber attack. Terdapat beberapa negara yang sudah memiliki undang-undang tentang cyber security, di antaranya seperti AS, Inggris, dan Belanda. Dalam regulasi berkenaan dengan cyber security ini, beberapa negara seperti Inggris tetap memperhatikan prinsip-prinsip hukum dan nilai-nilai yang ada di masyarakatnya, termasuk hukum nasional dan internasional yang berlaku.