Satu tahun lalu, Komite Internasional Palang Merah (ICRC) bekerjasama dengan Pondok Pesantren Darunnajah Jakarta dan UIN Syarif Hidayatullah Jakarta mengadakan Pelatihan Eksplorasi Hukum Humaniter (EHH) bagi Para Pendidik Muslim di Cipanas, 5 – 9 Maret 2012. Dua puluh guru dari 11 Pesantren mempelajari modul-modul EHH yang kemudian dieksplorasi bersama santri dan santriwati di kelas. Sejak awal, jajaran pimpinan pesantren dan para guru telah menunjukkan antusiasme yang tinggi terhadap program ini.

April 2012, Pondok Pesantren Islam Darul Abrar di Balle Kahu, Bone, Sulawesi Selatan menjadi yang pertama memulai eksperimentasi, diikuti oleh pesantren-pesantren lainnya. Kelompok Kerja EHH yang terdiri dari tujuh orang, yakni tiga dari Pondok Pesantren Darunnajah; Ustadz Nurhadi Sulhan, Ustadz Ghufron Dardiri dan Ustadz Ahmad Parlaungan Tanjung, dua dari UIN Syarif Hidayatullah Jakarta; Iin Handayani Dewi dan Ita Anistianah serta dua dari ICRC; Freddy Nggadas dan Melati Adidamayanti pun mengadakan serangkaian kunjungan silaturahim, untuk memantau langsung jalannya eksperimentasi. Para anggota Kelompok Kerja mengadakan pemantauan dua kali; di awal dan di akhir eksperimentasi, dan memperoleh kesan-kesan yang sangat positif. Melihat perkembangan dan kemajuan signifikan yang telah dicapai, awal tahun ini ICRC dan Darunnajah menandatangani lanjutan Nota Kesepahaman yang memungkinkan terselenggaranya evaluasi dan adaptasi program EHH.

Para anggota Kelompok Kerja EHH Pesantren (ki-ka): Ustadz Ahmad Parlaungan Tanjung, Ustadz Ghufron Dardiri, Melati Adidamayanti, Ustadz Nurhadi Sulhan, Freddy Nggadas, Iin Handayani Dewi dan Ita Anistianah, bersama Sukhdave Singh (Penasihat Regional EHH Asia), KH. Wahidan Alwi (Pemimpin Pondok Pesantren Raudhatussalam, Yogyakarta) dan Irénée Herbet (Penasihat Regional untuk Urusan Kemanusiaan). © ICRC

Memasuki Maret 2013, eksperimentasi telah berjalan genap setahun. Apa saja pengalaman berharga yang dimiliki para guru maupun anggota Kelompok Kerja selama eksperimentasi berlangsung? Untuk mengetahuinya, digelarlah Lokakarya Evaluasi Eskperimentasi EHH dari tanggal 25 hingga 29 Maret di Yogyakarta. Lokakarya juga menelaah eksplorasi yang ideal untuk direkomendasikan, diadaptasikan dan dikembangkan sebagai bagian dari proses adaptasi dan integrasi ke dalam kurikulum.

Dua puluh guru kembali berkumpul: Ustadzah Mahani & Ustadz Harmain dari Pesantren Mawaridussalam Deli Serdang, Ustadz Badruzzaman dari Pesantren Ar Raudhatul Hasanah Medan, Ustadz Amran dari Pesantren Darul Abrar Bone, Ustadz Miftah & Ustadzah Ma’rifah dari Pesantren Darunnajah Jakarta, Ustadz Empud dari Pesantren Darunnajah 3 Serang, Ustadzah Rina & Ustadz Fahruroji dari Pesantren Daar El Azhar Banten, Ustadzah Nur dari Pesantren Al Basyariah Bandung, Ustadzah Dyah & Ustadz Darwis dari Pesantren Raudhatussalam Yogyakarta, Ustadz Mustar & Ustadz Rasuni dari Pesantren Nurul Huda Madura, Ustadz Mukhlison & Ustadz Saifuddin dari Pesantren Al Islam Ponorogo, dan Ustadz Hardiansyah dari Pesantren Al Ikhlas, NTB. Bedanya kali ini, tiga guru berhalangan hadir yakni Ustadzah Thoraroh dari Darunnajah 3 digantikan Ustadz Tb Saparudin, Ustadz Syauqi yang telah menyelesaikan masa pengabdian di Al Basyariah digantikan Ustadz Arif dan Ustadz Amman Lingga dari Ar Raudhatul Hasanah digantikan Ustadz Aam Aminudin. Patut diacungi jempol, di tengah jadwal pesantren yang sangat padat mulai dari dini hingga malam hari, eksperimentasi berhasil diselesaikan, dengan antusiasme dan komitmen yang tetap terjaga.

Dua puluh guru dari berbagai penjuru nusantara kembali berkumpul (bersama para anggota kelompok kerja, Sukhdave Singh, KH. Wahidan Alwi dan Irénée Herbet). © ICRC

Para guru menceritakan beraneka pengalaman eksperimentasi yang unik di pesantrennya masing-masing. Beruntung, dukungan manajemen dan staf dari 11 pesantren tetap kuat. Didukung KH Saifurrahman Nawawi selaku pimpinan pondok, Ustadz Mustar dan Ustadz Rasuni dari Pesantren Nurul Huda mendobrak budaya pemisahan yang kuat antara santri dan santriwati di Madura, dengan menggabungkan mereka di dalam satu kelas selama eksperimentasi. “Ini adalah muamalah untuk tujuan yang baik,” ungkap Ustadz Mustar yang kemudian menjelaskan perubahan sikap santri menjadi lebih baik, setelah mengikuti kelas EHH. Hal senada dituturkan Ustadz Hardiansyah dari Pesantren Al Ikhlas, Nusa Tenggara Barat, “Saya sehari-hari bertanggungjawab atas pengasuhan santri, saya bisa merasakan perubahan perilaku mereka menjadi lebih dewasa.”

Ustadz Rasuni dan Ustadz Mustar dari Pesantren Nurul Huda, Madura, merasakan adanya perubahan sikap santri setelah mengikuti eksperimentasi EHH. © ICRC

Ustadz Hardiansyah dari Pesantren Al Ikhlas, Nusa Tenggara Barat, juga merasakan hal yang sama, adanya perubahan sikap santri setelah mengikuti eksperimentasi EHH. © ICRC

Yang perlu dicatat, semua guru menyetujui kuatnya relevansi antara EHH dengan ajaran Islam. Mereka juga melihat bervariasinya metodologi penyampaian sebagai kekuatan utama EHH sehingga mampu menyentuh hati dan membuat suasana pembelajaran menjadi hidup dan menarik. Mereka optimistis ke depannya, EHH bisa diimplementasikan ke dalam kurikulum pesantren. Beberapa guru menyarankan EHH dimasukkan ke dalam intrakurikuler, sedangkan sebagian besar bersemangat agar EHH diajarkan di dalam kegiatan ekstrakurikuler. Bagaimana program EHH nantinya di Indonesia? Para anggota Kelompok Kerja mengadakan Lokakarya di Cisarua dari 26 sampai 28 April lalu, menyusun laporan berdasarkan hasil eksperimentasi, dan berusaha merumuskan rekomendasi yang tepat. Semoga api semangat ini dapat terus menyala, mengingat keberhasilan eksperimentasi EHH di pesantren telah banyak menginspirasi negara-negara lain.

Penyerahan sertifikat oleh Sukhdave Singh kepada Ustadzah Dyah Sinta Ratih dari Pesantren Raudhatussalam di Yogyakarta selaku sohibul wilayah, disaksikan Ustadz Ghufron Dardiri dari Pesantren Darunnajah Jakarta. © ICRC