Waktu menunjukan pukul 10.30 saat pesawat kami mendarat di Bandara Sultan Iskandar Muda, Banda Aceh. Udara panas menyeruak tatkala pintu pembatas ruang pengambilan bagasi terbuka. Aceh menyambut kami dengan matahari yang terang-hangat, seperti penuh senyum yang hangat menyapa.
Rombongan kami yang beranggotakan 8 orang mayoritas adalah pegawai ICRC. Selebihnya adalah tim penerjemah dan seorang pakar hukum Islam dari Pakistan. Ya, beliau adalah Prof. Muhammad Munir yang terbang dari Islamabad di Pakistan ke Bumi Rencong untuk berbagi wawasan tentang hukum Islam dan kaitannya dengan Hukum Humaniter Internasional (HHI). Prof. Munir diundang ICRC sebagai pembicara utama dalam “Kursus Bersertifikat Hukum Humaniter Internasional dan Hukum Islam tentang Konflik Bersenjata” yang diselenggarakan ICRC pada tanggal 26-29 Agustus bekerjasama dengan Fakultas Hukum dan Syariah, Universitas Islam Negeri Ar-Raniry.
Kegiatan di Banda Aceh ini adalah program tahunan ICRC yang ketiga, setelah sebelumnya diselenggarakan di Jakarta dan Makassar. Tujuannya adalah untuk melatih para dosen dan pengajar di fakultas hukum dan atau syariah untuk lebih mendalami materi-materi dalam Hukum Humaniter Internasional dan hukum Islam menyangkut konflik bersenjata (siyar).
Andrew Bartles-Smith, Penasehat Regional ICRC untuk Urusan Kemanusiaan, dalam wawancara dengan beberapa media menyampaikan bahwa kegiatan ini bertujuan untuk mendekatkan para akademisi dengan berbagai persoalan kemanusiaan dan diharapkan mampu memberikan kontribusi dalam menyelesaikan berbagai masalah kemanusiaan.
“Kami berharap Bapak-bapak dan Ibu-ibu yang punya tradisi keilmuan Islam yang kuat dan mengakar dapat menilik dan membahas persoalan-persoalan tersebut dengan bekal kepakaran dan pengetahuan yang Bapak dan Ibu miliki. Upaya-upaya seperti ini kami harapkan dapat mendekatkan kalangan akademisi dengan isu-isu kemanusiaan kontemporer sehingga kita dapat memberikan sumbangan penting bagi kerja-kerja kemanusiaan.” Andrew, lebih lanjut, menjelaskan bahwa ICRC sejak tahun 1990 sudah bekerjasama dengan kalangan akademisi, ulama dan kelompok sipil di negara seperti Pakistan, Afganistan, Iran, Yordania dan juga Indonesia. Kursus di Aceh merupakan bagian dari kegiatan ICRC untuk meningkatkan kerjasama dengan kalangan ulama dan pemerhati Hukum Islam di Indonesia, tambahnya.
Prof. Muhammad Munir dalam kursus tiga hari yang diselenggarakan di Hotel Grand Naggroe ini menyampaikan tiga topik utama, yaitu pengenalan tentang Hukum Islam dan Hukum Humaniter Internasional, perlindungan non-kombatan dalam Islam, dan status tawanan dalam Islam. Rina Rusman, penasehat hukum delegasi ICRC di Jakarta, berbicara tentang Hukum Humaniter Internasional secara umum dengan beberapa topik khusus seperti klasifikasi konflik, serta perlindungan orang dan obyek dalam peperangan.
Pelatihan kali ini terasa spesial karena tamu yang datang dari luar negeri lebih banyak dibanding tahun sebelumnya. Setidaknya ada 9 peserta dari mancanegara seperti Singapura, Malaysia, Filipina, Thailand, Jepang, Bangladesh, dan Mesir. Kehadiran mereka serta berbagai wawasan yang mereka sampaikan telah memperkaya wacana yang berlangsung dalam diskusi.
Para peserta juga diberi kesempatan untuk mengenal kota Banda Aceh lebih dekat dengan kunjungan (city tour) ke beberapa tempat bersejarah seperti Museum Tsunami, kapal tongkang yang terapung di tengah kota, dan tentu saja menikmati suasana Mesjid Baiturrahman.
Begitu banyak ilmu dan kenangan yang terukir dalam kegiatan ini, sampai-sampai seorang peserta dari Singapura berikrar bahwa ‘ICRC is close to my heart’.