Sebagai lanjutan kerjasama ICRC dan Komunitas Buddha di Indonesia dalam menghadapi pandemi COVID/19, ICRC kembali menggelar seminar daring bersama dengan Sekolah Tinggi Ilmu Agama Buddha (STIAB) Smaratungga di Boyolali pada 28 Juni 2020. Seminar ini diikuti oleh lebih dari 250 pemirsa langsung di media Zoom dan YouTube. Selang 24 jam, lebih dari 1000 pemirsa menyaksikan rekamannya di kanal YouTube Smaratungga.

Perhelatan dibuka oleh perwakilan dua lembaga tersebut. Charles Dorman-O’Gowan selaku Koordinator ICRC Urusan Kemanusiaan Wilayah Asia menegaskan bahwa “Kerjasama antara ICRC dan komunitas Buddha di Indonesia bukanlah hal yang baru. Berbagai kegiatan telah dilakukan melalui seminar, konferensi, webinar tetapi juga dengan kegiatan kemanusiaan di lapangan. Hal ini menunjukkan bahwa kedua belah pihak memiliki kesamaan visi dan misi untuk menjawab tantangan kemanusiaan yang ada di sekitar kita.”

Sementara itu, Biksu Ditisampano Budi Utomo PhD selaku Ketua STIAB menyambut baik seminar daring ini karena “memberikan pemahaman baru bagaimana bersikap, bertingkah laku dan bertindak dalam situasi ‘new normal’ untuk menciptakan semangat yang baru untuk terus menjalani kehidupan.” Dia juga menggarisbawahi bahwa untuk Umat Buddha, pembatasan-pembatasan seperti PSBB perlu diikuti tetapi dengan enjoy. “Sang Buddha sendiri sudah mengajarkan bagaimana kita hidup dalam satu keterbatasan; bagaimana kita hidup untuk menikmati semua proses yang kita hadapi yaitu dengan cara meditasi.”

Dalam menghadapi pandemi yang disebut era ‘New Normal’ yang masih menjadi tanda tanya bagi banyak orang, ICRC dan STIAB menghadirkan dua pembicara utama yang sebelumnya sudah tampil bersama. Tampil mewakili ICC dr. Hans Herewilla membahas dari sisi Ilmu Kesehatan sementara Dr. Adi W. Gunawan yang mewakili STIAB menelisik dari sisi Pengolahan Pikiran (hipnoterapi). Seminar dipandu oleh Dr. Ponijan Law, pakar komunikasi dari STIAB.

Sebagai bagian dari Gugus Tugas COVID-19 Pemerintah, dr Hans Herewilla mengawali paparannya dengan perkenalan tugas, mandat dan sekelumit sejarah ICRC di Indonesia yang sudah ada sejak zaman perang kemerdekaan Indonesia tahun 1949. Dalam berdaptasi dengan kebiasaan baru, dr. Hans meringkaskan panduannya dalam empat langkah: kesiapsiagaan, menghentikan penularan, memitigasi penularan dan ketahanan.

“Individu dapat berperan dalam pencegahan COVID-19 dengan tiga pemahaman utama: mengetahui cara-cara mengurangi risiko, mengetahui apa yang harus dilakukan jika sakit, dan mengetahui informasi yang benar, terutama mengakses situs www.covid19.go.id dari Gugus Tugas,” tegas dr. Hans. “Adaptasi dapat dilonggarkan (bukan diakhiri) tergantung dari kondisi pandemi dan dapat diketatkan kembali. Selamat vaksin belum ditemukan, kita akan hidup dalam kondisi ini sampai sekurang-kurangnya delapan belas bulan ke depan” tambah dr. Hans.

Sejalan dengan paparan ini, Dr. Adi W. Gunawan, mengulas lebih jauh arti ‘new normal’ sebagai tuntutan perubahan dan adaptasi dengan kenyataan baru, yakni pandemi. “Sejak pandemi ini banyak istilah dipakai seperti social distancing. Ini istilah asing yang sulit sekali dimengerti oleh masyarakat luas. Kemudian, physical distancing, new normal dan sekarang adaptasi kebiasaan baru. Tapi masyarakat banyak tidak tahu. Kalau tidak mengerti, bagaimana kita bisa melakukannya?” tegas Dr. Adi yang juga Ketua Asosiasi Hipnoterapi Indonesia.

Selanjutnya Dr. Adi mengulas alasan mengapa orang sulit berubah. “Orang sulit berubah karena takut keluar dari zona nyaman, tidak tahu cara berubah, tidak tahu kalau perlu berubah, atau orang disekitarnya mendukung untuk tidak berubah. Perubahan butuh kegigihan dan upaya sadar atau orang belum mau berubah karena belum mendapatkan cukup rasa sakit.”

“Untuk mengatasinya orang perlu berubah. Orang harus berani keluar dari zona nyaman. Tentu saja ada perasaan takut, tidak nyaman untuk masuk ke zona belajar dan akhirnya sampai di zona bertumbuh dalam kebiasaan baru,” pungkas Dr. Adi.

Seminar berlangsung seru dengan banyaknya pertanyaan yang ditujukan ke kedua pembicara. Akibatnya Panitia harus menambah satu jam lagi agar lebih banyak pertanyaan dapat ditanggapi. Seminar berakhir pada pkl. 22.00 WIB yang dilanjutkan dengan pelimpahan jasa untuk Biksu Dharmasurya Bhumi Mahathera, biksu senior dalam Sangha Agung Indonesia yang telah wafat pada 24 Juni 2020 yang lalu.