Jakarta — International Committee of The Red Cross (ICRC) mengundang 28 jurnalis dari 17 negara seperti Australia, Thailand, Afganistan, Pakistan, Timor Leste, Indonesia, Myanmar , Kamboja, India, dan PNG dalam Asia Media Conference 2019 di Denpasar Bali. Selama dua hari, 27-28 November, peserta akan mendiskusikan tentang pemanfaatan teknologi digital untuk membuat laporan kemanusiaan saat kondisi krisis karena konflik, perang atau bencana alam untuk membangun empati.

Alexandre Faite, Kepala Delegasi Regional ICRC untuk Indonesia dan Timor Leste mengatakan saat membuka seminar ini bahwa profesi pekerja kemanusiaan dan jurnalis memiliki kesamaan prinsip: bekerja imparsial dan netral. “Serta berkomitmen untuk berbagi cerita tanpa takut. Karena dua pekerjaan ini memiliki kesamaan yaitu kepedulian pada masyarakat,” ujarnya.

Karena itu sejak 2006, Alexandre menjelaskan, ICRC telah mempertemukan pekerja kemanusiaan dan jurnalis untuk membangun kolaborasi dengan jurnalis untuk kepentingan kemanusiaan. Asia Media Conference sebelumnya diselenggarakan di Dhaka, Sydney, Manila, Hiroshima, Seoul, dan Bangkok.

Tahun ini mengambil tema Digital Empathy: Reporting Like a Humanitarian, selama dua hari, peserta mendapatkan beragam materi seperti regulasi yang berlaku saat konflik berdasarkan prinsip Hukum Humaniter Internasional. ICRC memperkenalkan teknologi Virtual Reality untuk mengajak jurnalis memahami kondisi wilayah konflik bersenjata, dan membangun empati pada masyarakat di wilayah konflik.

Lembaga ini juga mengundang berbagai pihak sebagai narasumber seperti Vice News Asia dan Tempo untuk menjelaskan bagaimana peliputan isu kemanusiaan dan pemanfaatan sosial media untuk mendistribusikan berita-berita isu kemanusiaan. Selain itu ICRC mengundang Twitter untuk menjelaskan kolaborasi yang dapat dibangun dengan jurnalis untuk pemanfaatan platform sosial media untuk mendorong perubahan.

Pada hari kedua konferensi, ICRC bekerja sama dengan Aliansi Jurnalis Independen menyelenggarakan dua minilabs tentang Cek Fakta dan Keamanan Digital. Sekretaris Jenderal AJI Indonesia dalam sambutan mengatakan teknologi seperti pisau bermata dua. Kemajuan teknologi juga mengancam keberlangsungan jurnalisme itu sendiri, dan maraknya hoax ini menjadi keprihatinan tersendiri. Selain itu teknologi baru juga memunculkan ancaman terhadap kerja-kerja jurnalistik, termasuk jurnalis yang meliput isu kemanusiaan dan konflik.

“Dalam kondisi konflik perundungan (bullying) melalui dunia siber, atau yang disebut doxing, kepada Jurnalis semakin meningkat,” kata Revolusi Riza dalam sambutannya. Karena itu ia mendorong jurnalis mendapat pembekalan dan lebih peduli dengan keselamatan saat melakukan peliputan konflik.

Narahubung:
Fitri Adi Anugrah (+62 821-3050-9004)
Revolusi Riza (+62 813-3089-0467)