Para pemain yang menjadi anggota tim basket kursi roda nasional ini berasal dari berbagai daerah di seluruh Afghanistan, namun mereka satu suara ketika berbicara mengenai betapa besar artinya bagi mereka untuk menjadi duta penyandang cacat di turnamen pertama mereka di luar negeri.
Bagi Alberto Cairo, ketua program ortopedi ICRC di Afghanistan, olahraga basket kursi roda telah mengubah hidup para pemain. “Selain kegembiraan dan kesenangan yang mereka dapatkan ketika bermain – sesuatu yang tidak mereka dapatkan selama bertahun-tahun – olahraga telah memberi mereka rasa percaya diri dan harga diri,” jelas Alberto. “Kita harus ingat bahwa bagi para penyandang cacat di Afghanistan, olahraga artinya menonton orang lain yang bertanding, biasanya juga hanya di layar kaca, TV.”
Bermain bola basket secara rutin juga menginspirasi beberapa pemain untuk mempelajari keterampilan tambahan lainnya.
“Beberapa dari mereka mulai belajar bahasa Inggris,” kata Alberto. “Selama bertahun-tahun, kami menyarankan mereka untuk melakukannya, ternyata olahraga membantu terciptanya keajaiban, meruntuhkan seluruh hambatan yang ada.”
“Pemain lain, seperti Saber, yang dulunya buta huruf, sekarang belajar membaca dan menulis,” sambung Alberto. Mereka juga mendapatkan pinjaman guna memulai bisnis mereka sendiri. Bermain bola basket telah memberikan kepercayaan diri kepada para pemain untuk mencoba beragam hal dan tantangan baru.”
Ini adalah hasil dari dedikasi para staf ICRC, kursi roda dengan harga terjangkau yang memang diciptakan khusus bagi para pemain dan diproduksi oleh ‘Motivation‘, sebuah lembaga amal dari Inggris, dan inspirasi dari seorang pelatih basket profesional, yang telah membuat program ini sukses. Para pemain, yang semuanya adalah pasien atau staf di Pusat Ortopedik ICRC berasal dari seluruh penjuru Afghanistan. Mereka mulai bermain pada tahun 2010 lalu. Tahun lalu, tim nasional akhirnya dibentuk di bawah naungan Komite Paralimpiade Afghanistan, yang didukung oleh ICRC. Tim ini akan mengawali pertandingan internasional pertama mereka, di Italia, antara tanggal 20 sampai 30 Mei.
“Ketika saya mengumumkan undangan untuk bermain di Italia, seluruh pemain sangat gembira,” kenang Alberto. “Tim tuan rumah adalah Briante84, dari Cantù, dekat Milan, adalah pemenang Liga Italia tahun 2012 – 2013.”
Ketika menonton tim berlatih pada hari terakhir dengan pelatih mereka, Jess Markt, ketegangan dan kegembiraan hampir terlihat jelas. Bagi Farhad, Shapoor, Nasrullah dan Saber, empat dari 15 pemain yang pergi ke Italia, tantangan yang akan mereka hadapi adalah di luar mimpi terliar mereka.
Farhad Mohammadi (21) dari Herat: terkena polio
Sampai usia tujuh tahun, saya hanya bisa merangkak dengan menggunakan tangan dan lutut saja. Kemudian seorang teman memberitahu keluarga saya tentang Orthopaedic Centre (Pusat Ortopedik) ICRC di Herat, lalu orang tua saya membawa saya kesana. Saat ini, setelah bertahun-tahun menjalani perawatan, akhirnya saya bisa berjalan.
Saya percaya olahraga baik untuk kesehatan semua orang, juga secara moral. Dan basket telah menjadi bagian penting dalam hidup saya sejak saya mulai bermain empat tahun yang lalu. Keluarga sangat mendukung saya, ibu serta kakak saya sangat bangga dengan apa yang saya lakukan.
Saya tahu para pemain Italia akan sulit dikalahkan karena mereka telah bermain selama bertahun-tahun. Namun demikian tim kamipun berbakat, dan kami juga ingin menunjukkan kepada dunia bahwa menyandang cacat tidak berarti berhenti melakukan berbagai hal.
Saya sangat menantikan pertandingan melawan para pemain internasional, dan berbicara dengan mereka setelah pertandingan, bertukar pengalaman. Setelah kembali ke Afghanistan nanti, saya berharap kami bisa menjadi teladan bagi para penyandang cacat lainnya. Ketika Anda menderita cacat, sangat mudah untuk berpikir bahwa Anda tidak dapat melakukan apapun. Bermain basket telah menunjukkan kepada saya bahwa hal itu tidak benar. Menjadi seorang atlit membantu kami semua untuk yakin pada diri sendiri.
Saat ini saya salah satu teknisi di Pusat Ortopedik Herat dan mencari nafkah sendiri. Andai Pusat Orthopedi itu tidak ada, banyak orang seperti saya hanya akan mengemis di jalanan.
Shahpoor Sorkhabi (21) dari Maimana: mengalami kesulitan berjalan sejak kecil karena luka bakar parah
Ibu saya berusaha mencegah saya bermain basket. Beliau mengharuskan saya untuk memprioritaskan studi saya. Tapi
saya tetap ngotot untuk menekuni hobi basket saya dan mulai bermain empat tahun lalu di Pusat Ortopedik di Maimana, tempat saya mendapat perawatan.
Saya bermain dalam turnamen basket kursi roda di Pusat Ortopedik Kabul pada tahun 2012 lalu dan berhasil meraih gelar man of the match (pemain terbaik). Setelah itu ibu saya menjadi bangga pada saya. Saya juga bangga pada diri saya sendiri.
Saya tidak hanya menang dalam olahraga basket. Setelah turnamen, saya tinggal di Kabul dan menjalani operasi untuk kaki saya yang telah mengembalikan sebagian mobilitas saya.
Memang benar bahwa saya suka basket, tapi saya lebih suka sepakbola. Ronaldo adalah pahlawan saya. Saya bahkan menggunakan nomor punggungnya, tujuh, ketika saya pertama kali bergabung dengan tim basket nasional.
Saya senang pergi ke Italia. Saya ingin bertemu para atlit lain dan pergi jalan-jalan. Saya ingin sekali pergi ke pantai.
Nasrullah Nastratyar (19), dari Mazar: terkena polio
Saya bermain basket selama tiga tahun terakhir ini di Pusat Ortopedik ICRC di Mazar. Ketika bermain, saya merasa seperti seorang pria yang sempurna dan membantu mengatasi perasaan tidak berdaya yang kadang-kadang menghantui saya.
Semua orang di tempat tinggal saya mendukung saya, dan akan mengikuti perkembangan tim ketika kami berada di luar negeri. Mereka memberikan semangat dan dukungannya kepada saya.
Ini akan menjadi perjalanan pertama saya keluar Afghanistan, dan saya mencoba membayangkan bagaimana hal itu akan terjadi. Selain basket, saya juga tidak sabar untuk mengunjungi situs-situs sejarah dan bertemu dengan orang-orang.
Perjalanan ini akan membuka mata kami pada banyak hal baru, meskipun saya sudah cukup senang dengan hidup saya sekarang ini. Saya merasa bugar, dan ini adalah mimpi yang menjadi kenyataan bisa bermain di tim nasional. Rencana jangka panjang saya adalah menyelesaikan studi, baru kita lihat lagi rencana selanjutnya. Namun untuk saat ini, saya menjalani hidup dari hari ke hari.
Mohammad Saber Sultani (24) dari Kabul: kehilangan kedua kaki saat berusia tiga karena terkena ranjau
Kami berlatih selama tiga jam di pagi hari, dan dua jam di sore hari. Jess, pelatih kami mengajarkan kami dengan baik.
Tentu saja kami lelah, namun semua itu sepadan. Kami mau menang!
Ketika saya masih berusia dua tahun, ayah saya meninggal dan setahun kemudian saya kehilangan kedua kaki saya. Saya tinggal dengan paman, dan pindah ke Pakistan selama masa Taliban. Setelah kembali ke Kabul beberapa tahun kemudian, saya membuka toko kelontong kecil. Walaupun tidak mencukupi, namun kami bias bertahan. Salah satu teman saya bercerita tentang latihan basket di Pusat Ortopedik ICRC di Kabul. Saya tertarik pada olahraga lalu saya datang ke sana. Pengalaman inilah yang membuat saya tahu bahwa ICRC memberikan bantuan bagi para penyandang cacat, juga tentang pelatihan kejuruan dan pinjaman kredit mikro. Setelah beberapa waktu, saya mendapat pinjaman untuk toko saya, tapi usaha saya tidak berjalan dengan baik.
Hampir semua staf di Pusat Ortopedik ICRC adalah mantan pasien yang telah menerima pelatihan profesional sebagai terapis atau teknisi. Saya meminta pekerjaan pada Alberto dan ia memberi saya pekerjaan. Saat ini, saya seorang teknisi pembuatan kaki palsu. Hidup saya jauh lebih baik sekarang. Saya belajar membaca dan menulis, dan dengan bantuan Alberto saya membangun rumah saya sendiri. Sekarang ini saya mencurahkan semua tenaga saya pada bola basket. Yang terpenting adalah tetap memiliki sikap positif dan bermain dengan hati yang senang.
Bagi saya, ketika saya pergi ke Italia, saya ingin melihat rumah Alberto. Dia membantu saya membangun rumah saya. Saya juga ingin melihat rumahnya.