Siapapun pasti akan selalu ingat dengan bencana Tsunami Samudra Hindia, atau yang umum dikenal di Indonesia dengan sebutan Tsunami Aceh 2004 silam. Dimulai dengan bencana gempa bumi yang berkekuatan 9,3 skala Richter yang menghasilkan serangkaian tsunami di 14 negara yang berbatasan langsung dengan samudra Hindia. Peristiwa ini menyebabkan lebih dari 200.000 korban jiwa, dengan Indonesia sebagai negara dengan korban jiwa terbesar di dunia, diikuti Sri Lanka, India, dan Thailand.

Peristiwa yang menyebabkan lebih dari 200.000 korban jiwa ini, menyimpan beragam kisah pilu yang dialami oleh banyak orang. Tidak terkecuali Edwin Ervin, 18 tahun, adalah salah satu korban selamat dari peristiwa ini. Berenang untuk berjuang demi keselamatan dirinya di tengah kerasnya hantaman ombak Tsunami, ketika ia masih berusia delapan tahun.

Kepada ICRC, Edwin pun mulai bercerita mengenai kisahnya. Gempa yang terjadi pada waktu tepatnya jam 7:58:53 WIB, membuat Edwin yang pada saat itu sedang sarapan berlari keluar rumah. “Kejadian pagi itu saya baru bangun tidur lalu sarapan, lalu ketika gempa terjadi kami langsung keluar rumah semua.” Kenang Edwin, dalam wawancaranya dengan tim ICRC ketika berkunjung ke rumah pamannya di daerah Darussalam, Aceh Besar. “Tidak lama setelah gempa, semua orang langsung teriak-teriak bahwa air laut naik, saya heran karena belum pernah terjadi sebelumnya. Memang tak lama setelah itu, saya lihat banyak sekali air datang dari arah laut.”

Di laut dalam, gelombang tsunami dapat merambat dengan kecepatan 500-1000 km per jam. Setara dengan kecepatan pesawat terbang. Kerusakan dan korban jiwa yang terjadi karena Tsunami bisa diakibatkan karena hantaman air maupun material yang terbawa oleh aliran gelombang tsunami. “Karena banyak pepohonan kayu-kayu yang hanyut bersama air, membuat saya susah untuk berenang menyelamatkan diri.” kata Edwin. “Namun saya beruntung, pada saat itu saya melihat ada sebuah kasur yang mengambang di antara tumpukkan kayu yang ada. Saya langsung naik dan duduk di kasur tersebut, karena saya lelah sekali maka saya langsung tertidur.”

Namun ia kembali dikejutkan dengan situasi sulit lainnya, ternyata kasur yang ia tumpangi ketika menyelamatkan diri sebelumnya telah hanyut ke tengah laut, beruntung di saat yang sama ada seorang nelayan yang sedang memancing. Sang nelayan menghampirinya lalu mengantarnya kembali ke daratan. “Ketika saya bangun, saya sudah berada di tengah laut, untung saja tak lama setelah itu ada seorang nelayan yang ngambil ikan, lalu ia membawa saya kembali ke daratan dan mengantar saya ke pos penampungan terdekat dan bertemu dengan orang-orang yang lainnya.”

Ketika Tsunami Aceh, ICRC bekerjasama dengan PMI, membantu para korban untuk memulihkan hubugan dengan keluarga mereka yang hilang. Bermacam sarana pun digunakan seperti pertukaran Berita Palang Merah, penggunaan telepon satelit, penggunaan formulir “Saya Selamat dan “Saya Mencari”, penggunaan website ICRC www.familylinks.org, membantu anak-anak tanpa pendamping dan mempublikasi nama di media. Tercatat hampir 26.500 nama dipublikasikan di media, dan lebih dari 2.600 panggilan telepon dilakukan. Secara keseluruhan, ICRC telah menangani lebih dari 40.000 kasus, dan Edwin merupakan salah satu korban anak-anak tanpa pendamping yang terdaftar di ICRC pada saat itu. “Dengan bantuan ICRC, setelah sudah hampir seminggu tinggal bersama keluarga yang sempat menampung saya, akhirnya saya bertemu dengan paman saya.” Kenang Edwin. “Senang tak terkira mengetahui bahwa masih ada keluarga yang masih hidup, saya merasa tidak sendiri lagi.”