Pidato oleh Peter Maurer, Presiden Komite Internasional Palang Merah (ICRC), pada World Humanitarian Summit, di Istanbul, Turki.

Yang terhormat,

Bapak, Ibu sekalian,

Kita telah mendengar data-data, dilema, kekhawatiran dan komitmen.

Saya akan menyampaikan sisi lain dari dilema-dilema tersebut. Beberapa minggu yang lalu, saya berada di wilayah pedesaan di bagian utara Afganistan. Bayangkan saja pegunungan coklat dan hijau gelap, keterpencilan, perasaan yang muncul ketika kita berkendara berjam-jam dan tidak bertemu dengan siapapun. Tidak ada kabel listrik yang mengganggu, tidak ada kota, dan tentunya tidak ada 4G.

Di salah satu desa terpencil, saya berbicara dengan beberapa tetua desa. Mereka bercerita tentang ketakutan mereka: bahwa pertempuran akan datang lagi ke desa mereka, dan keluarga mereka akan terluka. Mereka menceritakan permasalahan mereka: tidak ada pekerjaan untuk mereka, tidak ada sekolah untuk anak-anak mereka. Mereka menceritakan juga bagaimana keluarga mereka berkumpul untuk memutuskan siapa yang harus pergi, dan kemana, untuk merantau keluar negeri, demi keluarga. Kesulitan ekonomi adalah salah satu efek tidak langsung perang.

Sehari sebelumnya, di Jalalabad, saya bertemu dengan beberapa orang yang pernah mengungsi, beberapa kali, selama lebih dari 20 tahun. Ia mengungsi selalu dalam wilayah Afganistan, karena pertempuran dan situasi yang tidak aman. 20 tahun, tapi mereka tidak menyerah untuk tempat yang mereka sebut rumah.

Kenyataannya adalah tidak ada seorangpun – tidak seorangpun – yang meninggalkan rumah, keluarga, seluruh kehidupannya, dengan sukarela. Mereka lari karena sebuah alasan, dan kecuali alasan ini hilang, mereka akan terus lari.

Inilah mengapa ICRC bekerja di negara-negara yang tengah berkonflik: karena selama hal terpenting untuk hidup yang layak masih tersedia – rumah sakit, sekolah, pekerjaan, makanan, air bersih, tempat berlindung – kebanyakan orang akan memilih tinggal di tempat yang mereka sebut rumah.

Itu sebabnya menghentikan bantuan untuk tempat asal para pengungsi, untuk membiayai perjalanan mereka ke negara tujuan tidak akan berguna. Semakin sedikit bantuan ke daerah konflik, semakin banyak orang akan datang.

Itulah mengapa retorika yang agresif pun tidak menghalangi orang untuk melintasi perbatasan – walaupun pengungsi adalah minoritas dari orang-orang yang terpaksa berpindah ini. Kita semua tau bahwa sebagian besar orang mencari perlindungan di negara mereka sendiri.

Kerentanan dan hak jangan saling dipertentangkan demi keyakinan yang salah bahwa status sangat menentukan dalam pencarian hidup yang layak.

Membiarkan orang-orang di kamp pengungsian bukanlah solusi. Kita harus memberi mereka kapasitas dan kesempatan untuk menjalani kehidupan normal sesegera mungkin. Negara harus mematuhi kewajiban hukum mereka dan menyediakan sumber daya sesuai dengan kebutuhan yang ada. Pemerintah harus bekerja dengan badan-badan usaha untuk menyediakan pendidikan, pekerjaan dan keamanan untuk para pengungsi dan penduduk setempat. Ini adalah bagaimana kita mengubah tantangan menjadi peluang bagi para individu, masyarakat, dan negara.

Pemindahan secara paksa adalah hal yang memalukan. Penghormatan yang lebih tinggi terhadap hukum humaniter internasional dan hukum pengungsi, Konvensi Jenewa dan Konvensi Kampala khususnya, akan meringankan beban mereka yang paling menderita.

Penghormatan terhadap hukum humaniter internasional, bantuan yang sesuai dengan kebutuhan, perlindungan bagi mereka yang mengungsi dan solusi pragmatis bagi mereka yang menetap di manapun – adalah bagaimana kita mengatasi perpindahan secara paksa ini.

Dan intinya adalah, keberhasilan yang sebenarnya tergantung pada kemampuan mengatasi dinamika yang mendasari konflik, dan – pada akhirnya – berdamai.

Terima kasih.