“Kami berusaha lari ke tempat yang lebih tinggi, namun karena derasnya air yang datang maka sayapun tenggelam dalam air selama tiga menit. Setelah saya berhasil muncul dipermukaan air, abang saya, yang ketika itu berlari bersama saya, telah hilang. Saya berusaha meraih pohon mangga yang ada di hadapan saya, dan memanjatnya. Empat jam lamanya saya bersama para korban selamat lainnya menunggu air untuk surut. Setelah kira-kira air tidak terlalu dalam, kami pergi ke tempat penyelamatan terdekat dan mencari keluarga kami yang hilang.” Kenang Maimun Hamdani pada saat musibah Tsunami di Aceh, 10 tahun yang lalu.

Penggalan kisah di atas adalah salah satu kisah yang terjadi pada saat gempa bumi dan Tsunami di Aceh. Peristiwa yang sangat memilukan ini terjadi pada hari Minggu pagi, 26 Desember 2004. Kurang lebih 200.000 nyawa melayang dalam sekejab di seluruh tepian dunia yang berbatasan langsung dengan samudra Hindia. Daerah Aceh merupakan korban jiwa terbesar di dunia dan ribuan bangunan hancur, ribuan pula mayat hilang dan tidak di temukan dan ribuan pula mayat yang di kuburkan secara masal.

ICRC bekerjasama dengan PMI, membantu para korban untuk memulihkan hubugan dengan keluarga mereka yang hilang. Bermacam sarana pun digunakan seperti pertukaran Berita Palang Merah, penggunaan telepon satelit, penggunaan formulir “Saya Selamat dan “Saya Mencari”, penggunaan website ICRC www.familylinks.org, membantu anak-anak tanpa pendamping dan mempublikasi nama di media. Tercatat hampir 26.500 nama dipublikasikan di media, dan lebih dari 2.600 panggilan telepon dilakukan. Banyaknya korban yang kehilangan keluarganya pada saat itu, membuat Biro Pusat Pencarian (Central Tracing Agency) Komite Internasional Palang Merah (ICRC) turun membantu Palang Merah Indonesia (PMI) dalam memberikan pelayanan RFL kepada para korban Tsunami Aceh. Pada video berikut ini Maimun Hamdani menceritakan kisahnya dalam menyelamatkan diri sampai akhirnya bertemu dengan neneknya.