Luang Prabang (ICRC) – Dua puluh empat ahli dari Kamboja, Laos, Myanmar dan Viet Nam berkumpul di Luang Prabang Kamis (09/10) lalu guna membahas kebijakan nasional dan praktik terbaik yang bisa memberikan manfaat bagi orang-orang yang terluka karena kecelakaan yang melibatkan artileri yang tidak meledak dan memperbaiki kehidupan mereka, serta mencegah korban baru dimasa mendatang. Lokakarya satu hari ini diselenggarakan oleh Departemen Tenaga Kerja dan Kesejahteraan Sosial dan bekerjasama dengan Komite Internasional Palang Merah (ICRC) dan Perhimpunan Bangsa-bangsa Asia Tenggara (ASEAN).

Laos, Provinsi Savannakhet, desa Tomlaung. Seorang anak laki-laki korban ranjau darat. © Getty Images/CICR/Paula Bronstein

Laos, Provinsi Savannakhet, desa Tomlaung. Seorang anak laki-laki korban ranjau darat. © Getty Images/CICR/Paula Bronstein

“Ketika para pemimpin kami mengadopsi Deklarasi ASEAN tentang Penguatan Perlindungan Sosial pada ASEAN Summit ke-23 tahun lalu, kami diingatkan bahwa perlindungan sosial adalah hak semua orang, termasuk korban artileri yang tidak meledak, yang hidupnya dapat dikompromikan karena cacat atau hambatan lainnya,” kata Chomyaeng Phengthongsawat, wakil direktur jenderal Departemen Perencanaan dan Kerjasama Kementerian Tenaga Kerja dan Kesejahteraan Sosial. “Kamboja, Laos, Myanmar dan Viet Nam tetap berkomitmen untuk memberikan bantuan sosial kepada para korban melalui berbagai program dan strategi yang sedang berlangsung. Menghadapi tantangan yang serupa, kami dapat saling belajar dan erat bekerja sama dalam merespon kebutuhan korban artileri yang tidak meledak di masing-masing Negara.”

Para peserta berkumpul guna berbagi pengalamannya dalam memberikan bantuan kepada korban, misalnya dengan membantu mereka memperoleh akses ke sekolah khusus dan bursa kerja, atau dengan memberikan pelatihan, rehabilitasi, kegiatan pembersihan ranjau dan program kesadaran masyarakat. Mereka juga mengidentifikasi tantangan yang terlibat dalam memberikan bantuan yang komprehensif bagi korban, terutama mereka yang tinggal di daerah terpencil. Lokakarya tersebut merupakan kegiatan regional yang direncanakan di bawah Kerangka Strategis Kesejahteraan Sosial dan Pembangunan ASEAN 2011-2015.

Laos sendiri diperkirakan memiliki lebih dari 50.000 ranjau darat dan korban perang sisa bahan peledak hingga akhir 2012, menurut laporan hasil pantauan atas Ranjau Darat dan bom tandan, sebagian besar korban adalah warga sipil. Artileri yang belum meledak juga menimbulkan ancaman serius bagi generasi mendatang. “Artileri yang belum meledak memiliki efek buruk pada masyarakat, dapat terus melukai dan membunuh warga sipil lama setelah konflik bersenjata berakhir,” kata Beat Schweizer, kepala delegasi ICRC di Bangkok. “Implikasi jangka panjang bisa menghilangkan orang kegiatan ekonomi, kesehatan dan pendidikan.”

ICRC telah bekerja sejak tahun 1960 di Asia Tenggara, di mana ia mendukung program rehabilitasi fisik bagi korban bom yang tidak meledak dan sisa-sisa perang lainnya di Kamboja, Laos, Myanmar dan Viet Nam. Pada bulan Juni, ICRC memberikan perawatan bagi yang trauma dan pelatihan pertolongan pertama untuk tenaga layanan kesehatan bekerjasama dengan unit pembuangan persenjataan di Laos.

Untuk informasi lebih lanjut, hubungi:
Jean-Pascal Moret, ICRC Bangkok, tel: +66 (0) 950 12 70