Penghormatan bunga di The Memorial Cenotaph. ©ICRC

Penghormatan bunga di The Memorial Cenotaph.
©ICRC

“Let all the souls here rest in peace for we shall not repeat the evil…”

Pesan kemanusiaan yang tertulis di atas prasasti di Hiroshima Peace Memorial Park itu menjadi pijakan kuat dan semangat bagi para peserta Asia Pacific Media Conference 2014 pada 26-28 November lalu. Di kota yang pada 6 Agustus 1945 luluh lantak akibat ledakan bom atom itu, para jurnalis senior dari belasan negara di Asia dan Pasifik saling bertukar pendapat dan kadang sedikit berdebat. Dari Indonesia, tiga wartawan turut hadir. Mereka adalah Maria Andriana, editor senior desk internasional di Kantor Berita Antara; Johanes Heru Margianto dari Kompas.com; dan Y. Tomi Aryanto dari Majalah TEMPO.

Dalam pertemuan yang difasilitasi Komite Palang Merah Internasional (ICRC) ini, tema utama yang diangkat adalah bagaimana media bekerja dan melakukan pelaporan tentang konflik dan bencana (reporting on conflicts and disasters). Seperti konferensi sebelumnya yang berlangsung di Manila, Philipina, pada Oktober 2011, kali ini masing-masing peserta mengungkapkan pendapat dan pengalamannya mengenai topik tersebut, terutama perhatian mereka terkait kasus dan peristiwa menonjol di negara masing-masing.

Maria, misalnya, menyampaikan keprihatinannya tentang banyaknya pemberitaan, termasuk oleh kantor berita yang punya reputasi internasional, yang entah sengaja atau karena kelalaian ternyata jelas-jelas melanggar kode etik mendasar. Sebagai contoh, beberapa media dengan vulgar masih menampilkan gambar-gambar tubuh korban tewas dalam peristiwa bencana seperti tsunami di Aceh atau letusan Merapi di Yogyakarta. Satu hal yang mestinya dihindari demi kepentingan kemanusiaan yang lebih luas, selain tak adanya manfaat dari sisi jurnalistik.

Beberapa pembicara lain seperti Rong Liu dari People’s Daily Online, China, juga menyoroti ihwal tersebut, tentu dengan contoh kasus dan penekanan berbeda. Ada juga cerita serupa dari pengalaman liputan bencara Topan Haiyan di Philipina. Imparsialitas dalam meliput konflik sosial atau perang juga diangkat.

Diskusi cukup hangat dan sangat produktif. Di ujung sesi, para peserta sepakat bahwa masih banyak kelemahan yang amat merisaukan dalam cara media melakukan peliputan dan menampilkannya melalui berita atau gambar yang mereka tulis dan siarkan. Kami juga setuju beberapa persoalan dasar ini harus selalu ditegaskan ulang kepada para jurnalis dan diajarkan kepada setiap wartawan baru yang bergabung. Ada cara-cara lain yang lebih kreatif bisa dilakukan media untuk mengabarkan peristiwa penting dari bencana atau konflik, tanpa harus melukai perasaan korban atau justru memicu persoalan baru yang tak perlu.

Presentasi yang disampaikan dengan sangat baik dan diskusi yang bermanfaat pada hari kedua dalam Pelaporan Konflik dan Bencana pada Konferensi Hiroshima. Kredibilitas, kepercayaan, dan berpegang teguh pada nilai-nilai dan etika, adalah beberapa elemen kunci bagi wartawan untuk tetap kredibel dan aman di era media sosial dan jurnalisme warga ini. Resiko yang tinggi dan pendanaan merupakan beberapa masalah yang dihadapi, dengan semakin banyaknya bencana yang terjadi dan sedikitnya wartawan yang mengulas berita ini. ©ICRC

Presentasi yang disampaikan dengan sangat baik dan diskusi yang bermanfaat pada hari kedua dalam Pelaporan Konflik dan Bencana pada Konferensi Hiroshima. Kredibilitas, kepercayaan, dan berpegang teguh pada nilai-nilai dan etika, adalah beberapa elemen kunci bagi wartawan untuk tetap kredibel dan aman di era media sosial dan jurnalisme warga ini. Resiko yang tinggi dan pendanaan merupakan beberapa masalah yang dihadapi, dengan semakin banyaknya bencana yang terjadi dan sedikitnya wartawan yang mengulas berita ini.
©ICRC

Bukan hanya tentang bagaimana sebaiknya atau seharusnya media meliput, dalam dua sesi di konferensi ini para peserta juga merumuskan masukan dan harapan mereka kepada organisasi donor atau lembaga penyalur bantuan kemanusiaan seperti ICRC. Pada bagian ini, banyak pesan di sampaikan, dan beberapa di antaranya amat penting untuk dicatat.

Menengok pada pengalaman penanganan tsunami Aceh di penghujung 2004, dalam diskusi grup, dibahas mengenai pentingnya media mengawasi kinerja lembaga-lembaga ini. Tak lama setelah bencana besar itu terjadi, ratusan lembaga datang membanjiri Aceh. Selain membawa bantuan dan mempercepat pembangunan kembali wilayah yang pernah terkoyak konflik itu, hadirnya begitu banyak organisasi di sana ternyata tak dibarengi dengan adanya koordinasi yang baik. Masing-masing sibuk dengan programnya, sehingga ada banyak tumpang-tindih di sana-sini. Persaingan antar-lembaga pun rupanya terjadi dalam beragam bentuk di lapangan. Dalam situasi semacam itu, kontrol dan pengawasan media amat diperlukan.

Perkembangan teknologi komunikasi dan semakin pentingnya peran media sosial seperti Facebook , Twitter, Path, dan sebagainya tentu tak luput dari perhatian kami. Melalui presentasinya, Heru dari Kompas.com menyoroti hal ini, dengan memberikan catatan-catatan kritis dari hasil pengamatannya.

Menurut dia, dan kemudian disetujui oleh para peserta lain, media konvensional atau mainstream tak akan kehilangan daya dan perannya di tengah banjir informasi melalui media-media alternatif itu. Satu kata kunci dalam hal ini adalah “kredibilitas”. Kemampuan lebih pada media konvensional dalam melakukan verifikasi dan konfirmasi pada akhirnya masih akan menjadi tumpuan bagi publik untuk mendapatkan kepastian apakah sebuah berita layak dipercaya atau masih harus diragukan kebenarannya. Contoh-contoh berita hoax dari berbagai peristiwa bencana dan konflik diangkat Heru dengan sangat menarik. Lengkap dengan data-data pendukungnya.

Singkat kata, konferensi dan rangkaian acara di Hiroshima di akhir November lalu tak cuma menarik, tetapi juga penting. Baik bagi para awak media maupun bagi lembaga penyalur bantuan kemanusiaan, beberapa rekomendasi masih perlu ditindaklanjuti. Kerja sama dan saling isi antara media dan organisasi kemanusiaan seperti ICRC harus selalu dijalin. Ada banyak hal produktif yang bisa dibangun melalui sinergi ini. Tentu saja semuanya demi semakin tingginya pernghormatan pada harkat kemanusiaan kita dan tegaknya perdamaian di atas bumi….

Y. Tomi Aryanto (Wartawan TEMPO)

Pameran Foto "War From the Victim's Perspective" (Perang dari perspektif korban) oleh Jean Mohr, mantan staf ICRC, yang dibuka didalam Hiroshima Peace Memorial Park. ©ICRC

Pameran Foto “War From the Victim’s Perspective” (Perang dari perspektif korban) oleh Jean Mohr, mantan staf ICRC, yang dibuka didalam Hiroshima Peace Memorial Park.
©ICRC

Sebuah testimoni dari salah satu korban bom atom "Hibakusha" yang selamat, Keiko Ogura. ©ICRC

Sebuah testimoni dari salah satu korban bom atom “Hibakusha” yang selamat, Keiko Ogura.
©ICRC

Para peserta mendengarkan testimoni dengan seksama. ©ICRC

Para peserta mendengarkan testimoni dengan seksama.
©ICRC

Konferensi Hiroshima berakhir dengan janji dari para peserta untuk memperkuat komunitas wartawan yang meliput konflik, berbagi informasi, saran, praktik terbaik. Seluruh acara ini sukses besar! Kami sungguh-sungguh menghargai semua peserta dan pendukung untuk partisipasi aktif dan kontribusinya. ©ICRC

Konferensi Hiroshima berakhir dengan janji dari para peserta untuk memperkuat komunitas wartawan yang meliput konflik, berbagi informasi, saran, praktik terbaik. Seluruh acara ini sukses besar! Kami sungguh-sungguh menghargai semua peserta dan pendukung untuk partisipasi aktif dan kontribusinya.
©ICRC