Dalam situasi konflik bersenjata, benda budaya (cultural properties) mendapat perlindungan dari Hukum Humaniter Internasional karena perusakan atas benda budaya adalah perusakan atas warisan umat manusia.

Berdasarkan survey yang pernah ICRC lakukan terhadap 17.000 orang terkait hukum perang, mayoritas responden menentang penyerangan atas situs-situs bersejarah juga situs-situs reliji.

Perlindungan ini tercantum dalam perjanjian internasional dan hukum kebiasaan internasional. Salah satunya Konvensi Den Haag tahun 1954 tentang Perlindungan Benda Budaya pada Waktu Konflik Bersenjata dan protokolnya. Pengaturan ini juga bisa ditemukan dan Protokol tambahan dari Konvensi Jenewa 1949.

 

Masjid Umayyad, Aleppo, Suriah, 2017. CC BY-NC-ND/ICRC/Sana Tarabishi

 

 

Berikut ada beberapa poin yang bisa disimak untuk tahu lebih jauh tentang perlindungan benda budaya pada waktu konflik bersenjata:

  1. Konvensi Den Haag tahun 1954 ini bisa dikatakan sebagai perjanjian internasional pertama yang fokus pada perlindungan benda budaya dalam situasi konflik bersenjata. Salah satu yang melatarbelakangi lahirnya konvensi ini yakni banyaknya situs bersejarah dan benda budaya yang hancur setelah Perang Dunia II. Teks Konvensi ini bisa diakses di sini (Bahasa Inggris).
  2. Apa saja yang dilindungi sebagai benda budaya? Menurut Hukum Humaniter Internasional, Benda Budaya yang dimaksud merupakan benda-benda, baik bergerak maupun tidak bergerak, yang memiliki arti penting dalam hal warisan budaya semua orang. Bisa berarti monumen arsitektur atau sejarah, situs-situs arkeologi, benda seni atau buku.
  3. Lambang perlindungan yang disepakati dalam perjanjian internasional bentuknya seperti perisai, dan dikenal secara internasional dengan nama ‘Blue Shield’ atau Perisai Biru. Lambang perlindungan tersebut tercantum dalam Pasal 17 Konvensi Den Haag 1954.

    Lambang pengenal untuk cultural property berdasarkan Konvensi Den Haag.

  4. Indonesia adalah negara penanda tangan Konvensi Den Haag 1954 ini. Negara juga sudah meratifikasi konvensi ini juga protocol pertamanya. Ratifikasi tersebut kita lakukan melalui Keppres No. 234 tahun 1966.
    Protokol keduanya yang dikeluarkan tahun 1999, yang mengatur peningkatan perlindungan terhadap benda budaya, belum kita ratifikasi.
  5. Bagaimana penerapannya di Indonesia? Benda budaya harus didaftarkan melalui lembaga yang berwenang, dalam hal ini Direktorat Perlindungan Benda Budaya yang berada di bawah Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan. Permintaan secara resmi diajukan pada UNESCO.

Tidak semua benda budaya yang ada terdaftar dan mendapat status perlindungan oleh Konvensi Den Haag 1954 ini. Lalu bagaimana nasib benda budaya di luar daftar yang ada ketika terjadi konflik bersenjata? Benda budaya tetap mendapat perlindungan sebagai objek sipil di bawah Hukum Humaniter Internasional.