Frederic Fournier, Kepala Delegasi Regional ICRC untuk Indonesia dan Timor Leste, telah berakhir masa tugasnya pada tanggal 5 Juli 2014. Berikut adalah wawancara ICRC bersama beliau mengenai pengalamannya bertugas di Indonesia selama 2 tahun 3 bulan.

Frederic Fournier. © ICRC/Sonny Nomer

Frederic Fournier. © ICRC/Sonny Nomer

Ceritakan sekilas tentang diri Anda

Saya lahir di sebuah desa di daerah pegunungan Swiss. Setelah mengikuti pelatihan sebagai akuntan, saya bekerja selama 3 tahun di Swiss, Perancis dan Inggris, di sebuah LSM. LSM ini banyak membantu keluarga-keluarga sangat miskin. Di waktu yang sama, saya juga bekerja membantu para pengungsi di India dan keluarga miskin di kawasan kumuh di Bangkok, Thailand.

Saya kemudian kuliah S1 jurusan antropologi dan sosiologi dan mengambil Master di jurusan Hubungan Internasional. Setelah kuliah selesai, saya bergabung dengan ICRC Januari 1995. Penugasan pertama saya adalah di Indonesia untuk kegiatan kunjungan ke penjara-penjara.

Saya lalu ditugaskan ke Rwanda, Afghanistan, Timor Leste – dulu Timor Timur, Irak dan Palestina. Setelah kuliah Master selama setahun di bidang Administrasi Publik pada tahun 2003, saya kembali bergabung ke ICRC dan bekerja di kantor pusat ICRC di Jenewa, lalu di Tunisia, dan terakhir di Aljazair. Saya tiba di Jakarta pada bulan April tahun 2012 sebagai kepala delegasi ICRC untuk Indonesia dan Timor-Leste.

 

Apa saja isu kemanusiaan yang dipandang penting di Indonesia? Dan bisakah ICRC berkontribusi terhadap isu-isu tersebut?

Di kawasan itu, Indonesia mejadi pilar utama ASEAN. Sekretariat ASEAN ada di Jakarta. Bersama ASEAN, ICRC misalnya bisa berkontribusi pada isu-isu yang berkaitan dengan ranjau dan bahan peledak sisa perang yang berdampak pada negara-negara seperti Myanmar, Kamboja, Laos atau Vietnam. ICRC juga terlibat dalam pemberian prostesis seperti kaki atau tangan palsu, kepada korban yang kehilangan anggota tubuh akibat ranjau atau bahan peledak sisa perang. Bersama ASEAN, ICRC juga menyelenggarakan seminar regional tentang operasi pemeliharaan perdamaian, yang diselenggarakan oleh Pusat Misi Pemeliharaan Perdamaian atau PMPP Sentul di Bogor.

Frederic Fournier ketika membuka acara "Regional Workshop On Operational Challenges Facing United Nations Peacekeeping Operations" di Sentul, Bogor. Kegiatan workshop yang diselenggarakan oleh ASEAN Defence Ministers’ Meeting Plus Experts’ Working Group on Peacekeeping Operations (ADMM Plus EWG on PKO) dan Komite Internasional Palang Merah (ICRC), berlangsung pada tanggal 6-8 November 2012. © ICRC/Mia Pitria

Frederic Fournier ketika membuka acara “Regional Workshop On Operational Challenges Facing United Nations Peacekeeping Operations” di Sentul, Bogor. Kegiatan workshop yang diselenggarakan oleh ASEAN Defence Ministers’ Meeting Plus Experts’ Working Group on Peacekeeping Operations (ADMM Plus EWG on PKO) dan Komite Internasional Palang Merah (ICRC), berlangsung pada tanggal 6-8 November 2012. © ICRC/Mia Pitria

Isu Rohingya menjadi perhatian media di sini. ICRC terlibat secara aktif di Myanmar, di antaranya negara bagian Rakhine setelah kekerasan antar-kelompok masyarakat pecah pada bulan Oktober 2012. Bersama dengan Palang Merah Myanmar, ICRC mendistribusikan berbagai bantuan dasar tetapi vital untuk warga yang sakit atau terluka dan pengungsi dari kedua kelompok masyarakat. Kami memberikan bantuan klinik keliling, mengevakuasi pasien yang tidak bisa mendapatkan akses ke fasilitas kesehatan, dan menyediakan air di kamp-kamp pengungsi. ICRC juga merenovasi sebuah rumah sakit rujukan di Sittwe.

Pemerintah dan rakyat Indonesia mengikuti secara seksama dan sangat prihatin dengan situasi di wilayah pendudukan Palestina, di mana ICRC telah hadir secara permanen sejak tahun 1967. Bersama Bulan Sabit Merah Palestina, ICRC memberikan bantuan bagi keluarga Palestina yang rumahnya hancur. Juga membantu otoritas Palestina untuk meningkatkan kondisi kehidupan orang-orang yang ditahan; memfasilitasi kunjungan keluarga dan pertukaran Berita Palang Merah bagi ribuan tahanan Palestina yang ditahan oleh pemerintah Israel; Membantu rumah sakit, pelayanan medis darurat, pelayanan ortopedi dan prostetik, dan layanan ambulans. Kami juga melakukan perawatan terhadap korban perang Suriah yang terluka. Contoh nyatanya, ICRC memberi support kepada otoritas kesehatan di Gaza dalam hal penanganan klinis atas lebih dari 223.000 kasus bedah dan 40.500 pembedahan. Kami juga bekerja sama dengan institusi setempat yang bertanggung jawab atas pengelolaan air di Jalur Gaza dan Tepi Barat untuk memperbaiki, mengoperasikan dan melakukan pemeliharaan fasilitas air dan sanitasi yang vital bagi 865.000 orang warga.

Indonesia juga mengkhawatirkan kondisi warganya yang bekerja di luar negeri, antara lain di Timur Tengah. Di Yordania, misalnya, ICRC melakukan kunjungan ke penjara-penjara dan kadang-kadang menjumpai warga Indonesia yang ditangkap dan ditahan. Kalau mereka belum diinformasikan ke pemerintah Indonesia oleh otoritas yang melakukan penahanan, ICRC menjalin kontak dengan Kedutaan Besar Indonesia untuk memastikan bahwa warga negara Indonesia yang ditahan di Yordania bisa mendapatkan kunjungan konsuler.

Saya bisa memberi lebih banyak lagi informasi tentang hal seperti ini dan juga di daerah lain yang menjadi perhatian masyarakat Indonesia, tapi saya tidak mau bicara berjam-jam. Saya menyarankan agar pembaca blog mengunjungi websiste ICRC di www.icrc.org untuk mempelajari lebih lanjut tentang berbagai kegiatan yang dilakukan oleh ICRC di berbagai negara dan kawasan yang menarik bagi masyarakat Indonesia.

Bisakah jelaskan tentang kerjasama dengan PMI?

ICRC dan PMI merupakan bagian dari gerakan global Palang Merah dan Bulan Sabit Merah, dan keduanya secara otomatis menjadi mitra dalam sejumlah isu kemanusiaan.

ICRC bekerja sama dengan PMI untuk meningkatkan kesiapan dan kapasitas untuk bekerja dalam situasi-situasi kekerasan, ketika PMI akan melakukan kegiatan kemanusiaan dalam beragam kondisi yang sensitif dan tidak aman.

Di Indonesia, ICRC dan PMI misalnya bersama Rumah Sakit Dian Harapan Jayapura mengadakan operasi katarak tanpa dipungut biaya di dataran tinggi Papua. Ini bisa dibaca lagi dalam beberapa posting sebelumnya di blog ini.

Serah terima donasi dua set peralatan operasi mata katarak oleh Frédéric Fournier (kiri) kepada Rumah Sakit Dian Harapan Papua yang diwakili oleh Dr. Jon C. F. Paat, M.Kes-MMR, Direktur RS Dian Harapan, yang juga didampingi oleh (belakang-kika) Bp. Eru (pembawa acara), Dr. Yanuar Ali (Kepala Bagian Mata), dan perwakilan dari PMI Papua Ibu Marthapina Anggai (Sekretaris Pengurus PMI Papua). © ICRC/Swasti Istika

Serah terima donasi dua set peralatan operasi mata katarak oleh Frédéric Fournier (kiri) kepada Rumah Sakit Dian Harapan Papua yang diwakili oleh Dr. Jon C. F. Paat, M.Kes-MMR, Direktur RS Dian Harapan, yang juga didampingi oleh (belakang-kika) Bp. Eru (pembawa acara), Dr. Yanuar Ali (Kepala Bagian Mata), dan perwakilan dari PMI Papua Ibu Marthapina Anggai (Sekretaris Pengurus PMI Papua). © ICRC/Swasti Istika

Dalam gerakan global dari Palang Merah dan Bulan Sabit Merah, PMI menjadi aktor penting dalam diskusi tentang dampak kemanusiaan dari para imigran, seperti hilangnya kontak dengan keluarga, penahanan atas diri mereka, atau penanganan jenazah yang identitasnya tidak diketahui. PMI juga banyak terlibat dalam diskusi tentang perlindungan tenaga medis dan fasilitas kesehatan, dimana isu ini menjadi bagian dari kampanye global bernama Health Care in Danger.

Beberapa bulan lalu, ketika topan Hayan melanda Filipina, PMI memberikan bantuan makanan dan non-makanan, helikopter dan satu tenaga medis untuk bantuan tanggap darurat dari Gerakan Palang Merah dan Bulan Sabit Merah Internasional.

Beberapa bulan lagi, kita akan memperingati sepuluh tahun tsunami tahun 2004, yang menimbulkan dampak kemanusiaan mengerikan. Seperti yang kami lakukan dalam berbagai kesempatan, bersama para mitra dalam Gerakan Palang Merah dan Bulan Sabit Merah Internasional, ICRC dan PMI bersama-sama menggelar peringatan untuk menghormati para korban, relawan dan pekerja kemanusiaan yang terlibat dalam kegiatan kemanusiaan terkait tsunami.

 

Anda pernah bertugas di Indonesia tahun 1995, lalu tahun 1998-1999. Perubahan apa saja yang Anda lihat setelah berada di sini untuk ketiga kalinya?

Ada satu anekdot menarik untuk menunjukkan bagaimana dunia kita telah berubah sejak tahun 1995. Di tahun ketika saya pertama kali ditugaskan ke Jakarta, saya harus menjelaskan kepada bos saya apa itu internet. Ketika saya kembali pada tahun 2012, Indonesia telah menjadi salah satu negara yang paling terkoneksi di dunia berkaitan dengan penggunaan ponsel cerdas. Dengan satu sentuhan saja, seseorang bisa terhubung ke teman-teman, membaca berbagai info tentang apa yang terjadi hanya beberapa menit lalu di provinsi atau negara lain yang jauh. Ini telah mengubah secara drastis cara kita berinteraksi satu sama lain dan bagaimana kita memahami dunia. Bagi ICRC, ini artinya kami harus lebih aktif pada berbagai platform media baru, termasuk jejaring sosial.

 

Berhubung penugasan Anda akan segera berakhir di Indonesia, apa saran bagi penerus Anda?

KELUAR DARI JAKARTA! Dengan kunjungan personal ke Sumatera, Jawa dan Bali, atau kegiatan dinas seperti kunjungan ke Pondok Modern Darussalam di Gontor, atau kunjungan ke Rumah Sakit Dian Harapan di Jayapura, kita bisa mendapatkan pemahaman lebih baik tentang keragaman dan kompleksitas negeri ini. Dan setelah kursus Bahasa Indonesia selama beberapa minggu, Anda akan diperkaya apabila bisa berkomunikasi dengan orang-orang dari semua lapisan masyarakat.

Frederic Fournier (kedua dari kanan) ketika menghadiri pertemuan dengan Pimpinan Pondok Modern Darussalam Gontor (PMDG), guna membahas kegiatan Implementasi program EHH yang mana telah terjalin dari tahun 2012.  Sumber foto: http://www.gontor.ac.id/

Frederic Fournier (kedua dari kanan) ketika menghadiri pertemuan dengan Pimpinan Pondok Modern Darussalam Gontor (PMDG), guna membahas kegiatan Implementasi program EHH yang mana telah terjalin dari tahun 2012.
Sumber foto: http://www.gontor.ac.id/